Sampah
hingga saat ini masih dipandang sebagai sumber masalah bagi kebanyakan
masyarakat, bahkan istilah “sampah masyarakat” bagi sebagian orang berarti
sesuatu yang sering menimbulkan masalah dalam masyarakat. Upaya membuang sampah
sejauh ini menjadi hal yang dianggap wajar di lingkungan kita sebagai
upaya menghindarkan dan menjauhkan masalah.
Namun benarkah anggapan
membersihkan sampah dari rumah kita dan membuangnya sejauh mungkin dari tempat
kita sebagai jalan keluar terbaik menyelesaikan persoalan sampah dan terhindar
dari masalah?
Saat ini jumlah sampah yang dihasilkan terus bertambah mengikuti
bertambahnya jumlah penduduk terutama di perkotaan. Warga kota dalam seharinya
menghasilkan rata-rata 1 Kg sampah, dengan komposisi 70% sampah organik atau yang berasal dari benda mahluk
hidup, bisa membusuk dan terurai menjadi tanah, dan 30% sampah anorganik yang
berasal dari bahan tambang dan minyak bumi yang tidak bisa membusuk dan terurai
menjadi tanah.
Semakin modern perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan manusia
berbanding lurus dengan semakin beragam dan rumitnya jenis-jenis sampah yang
dihasilkan, jenis sampah yang ada saat ini bahkan disebut sebagai sampah kelas
modern karena sifatnya yang sudah tidak lagi bisa terurai di alam dengan cara
menguburkannya dalam lubang galian di tanah pekarangan.
Sampah modern dewasa ini banyak didominasi oleh jenis-jenis bahan tambang
dan minyak bumi yang butuh waktu ratusan hingga ribuan tahun untuk proses
penguraiannya di alam. Sebut saja seperti plastik dan busa styrofoam yang butuh
waktu ratusan hingga ribuan tahun untuk kembali terurai menjadi tanah.
Karena sifatnya yang
lebih sulit terurai inilah maka dengan bersandar pada paradigma membuang sampah
sejauh mungkin dari tempat tinggal kita sebagai solusi penyelesaian masalah
pada dasarnya hanya sebagai jalan berpindahnya sampah dari rumah kita ke tempat
lain.
Jika sampah dianggap
sebagai masalah maka membuangnya sejauh mungkin dari tempat kita sama saja
sebagai upaya memindahkan masalah sejauh mungkin dari tempat kita ke orang lain,
karena pada dasarnya sampah jenis modern tersebut tidak bisa hilang terurai
oleh alam, dia hanya berpindah tempat dari tempat kita ke tempat lain seperti
TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir Sampah).
Sebagain besar sampah
di perkotaan diangkut dan dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan sampah Akhir), yang
saat ini kebanyakan penanganannya dengan model Open Dumping yang kerap menimbulkan banyak masalah, mulai dari
masalah kesehatan, pencemaran udara, air, tanah sampai masalah estetika.
Beberapa kajian membuktikan, penangganan sampah dengan cara seperti itu akan
menghasilkan gas polutan seperti gas metana (H2S)
Pada tahun 2005 kota
Bandung pernah menjadi kota yang diberi label sebagai kota sampah, saat
gunungan sampah TPA Leuwi Gajah meledak dan longsor kemudian menimbun
perkampungan yang berada di dekat TPA tersebut, hingga 149 orang tewas menjadi
korban longsoran sampah tersebut.
Tragedi ini adalah cermin
kasus paradigma berpikir membuang sampah dan menjauhkannya dari lingkungan kita
dengan cara mengangkutnya sejauh mungkin sebagai solusi penyelesaian masalah
sampah. Karena pada kenyataannya sampah atau masalah yang kita hasilkan itu
hanya berpindah tempat dan menjadi biang masalah yang kemudian memakan korban
di tempat lain. Paradigma berpikir kebanyakan masyarakat yang kemudian
diterjemahkan sebagai sesuatu yang sempit dengan hanya bertujuan menjauhkan masalah
dari hadapan kita.
Tak heran kemudian masyarakat
perkotaan di Indonesia saat ini kerap disebut terjangkiti penyakit NIMBY (Not
In My BackYard) karena persoalan sampah ini, dimana hanya kerap berpikir
menjauhkan masalah dari hadapannya, dan peduli jika kemudian masalah tersebut menimpa
orang lain di tempat lain, asalkan bukan menimpa dirinya dia tak peduli.
Membuang sampah hanya
memindahkan sampah, jika sampah dianggap masalah maka membuang sampah hanya
berarti memindahkan masalah dari tempat kita ke orang lain. Saatnya paradigm
membuang sampah dengan benar ini kita benahi agar menjadi benar dalam
penerapannya.
Tidak cukup istilah ‘kebersihan
sebagian dari iman’ jika cara kita berbuat bersih adalah sebatas memindahkan
dan menjauhkan sampah dari hadapan kita, kemudian kita merasa bersih dan beriman.
Cara kita memindahkan masalah hanya sebagai jalan melempar masalah (sampah)
kita ke orang lain dan akhirnya membunuh orang di tempat lain seperti tragedi
Leuwi Gajah diatas, dan cara berpikir melempar masalah seperti ini tentu
bukanlah cara berpikir yang benar sebagai orang beriman.
Persoalan sampah harus
mulai dituntaskan di lingkar terdekat dimana sampah tersebut
dihasilkan,terutama di tingkat individu dan keluarga. Saatnya berkontribusi
menyelesaikan persoalan sampah dengan mulai membenahi cara berpikir, bukan
dengan paradigma berpikir melempar masalah (NIMBY) namun dengan mulai berpikir bagaimana
seharusnya mengelola sampah di tingkat terdekat kita agar tidak menjadi masalah
dan membunuh orang di tempat lain, inilah cara berpikir yang benar dari orang
yang beriman.
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar