05 Juli 2010

Berpikir Melempar Masalah dalam Sampah

Sampah hingga saat ini masih dipandang sebagai sumber masalah bagi kebanyakan masyarakat, bahkan istilah “sampah masyarakat” bagi sebagian orang berarti sesuatu yang sering menimbulkan masalah dalam masyarakat. Upaya membuang sampah sejauh ini menjadi hal yang dianggap wajar di lingkungan kita sebagai upaya menghindarkan dan menjauhkan masalah.

Namun benarkah anggapan membersihkan sampah dari rumah kita dan membuangnya sejauh mungkin dari tempat kita sebagai jalan keluar terbaik menyelesaikan persoalan sampah dan terhindar dari masalah?

Saat ini jumlah sampah yang dihasilkan terus bertambah mengikuti bertambahnya jumlah penduduk terutama di perkotaan. Warga kota dalam seharinya menghasilkan rata-rata 1 Kg sampah, dengan komposisi 70% sampah organik atau yang berasal dari benda mahluk hidup, bisa membusuk dan terurai menjadi tanah, dan 30% sampah anorganik yang berasal dari bahan tambang dan minyak bumi yang tidak bisa membusuk dan terurai menjadi tanah.

Semakin modern perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan manusia berbanding lurus dengan semakin beragam dan rumitnya jenis-jenis sampah yang dihasilkan, jenis sampah yang ada saat ini bahkan disebut sebagai sampah kelas modern karena sifatnya yang sudah tidak lagi bisa terurai di alam dengan cara menguburkannya dalam lubang galian di tanah pekarangan.

Sampah modern dewasa ini banyak didominasi oleh jenis-jenis bahan tambang dan minyak bumi yang butuh waktu ratusan hingga ribuan tahun untuk proses penguraiannya di alam. Sebut saja seperti plastik dan busa styrofoam yang butuh waktu ratusan hingga ribuan tahun untuk kembali terurai menjadi tanah.

Karena sifatnya yang lebih sulit terurai inilah maka dengan bersandar pada paradigma membuang sampah sejauh mungkin dari tempat tinggal kita sebagai solusi penyelesaian masalah pada dasarnya hanya sebagai jalan berpindahnya sampah dari rumah kita ke tempat lain.

Jika sampah dianggap sebagai masalah maka membuangnya sejauh mungkin dari tempat kita sama saja sebagai upaya memindahkan masalah sejauh mungkin dari tempat kita ke orang lain, karena pada dasarnya sampah jenis modern tersebut tidak bisa hilang terurai oleh alam, dia hanya berpindah tempat dari tempat kita ke tempat lain seperti TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir Sampah).

Sebagain besar sampah di perkotaan diangkut dan dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan sampah Akhir), yang saat ini kebanyakan penanganannya dengan model Open Dumping yang kerap menimbulkan banyak masalah, mulai dari masalah kesehatan, pencemaran udara, air, tanah sampai masalah estetika. Beberapa kajian membuktikan, penangganan sampah dengan cara seperti itu akan menghasilkan gas polutan seperti gas metana (H2S)

Pada tahun 2005 kota Bandung pernah menjadi kota yang diberi label sebagai kota sampah, saat gunungan sampah TPA Leuwi Gajah meledak dan longsor kemudian menimbun perkampungan yang berada di dekat TPA tersebut, hingga 149 orang tewas menjadi korban longsoran sampah tersebut.

Tragedi ini adalah cermin kasus paradigma berpikir membuang sampah dan menjauhkannya dari lingkungan kita dengan cara mengangkutnya sejauh mungkin sebagai solusi penyelesaian masalah sampah. Karena pada kenyataannya sampah atau masalah yang kita hasilkan itu hanya berpindah tempat dan menjadi biang masalah yang kemudian memakan korban di tempat lain. Paradigma berpikir kebanyakan masyarakat yang kemudian diterjemahkan sebagai sesuatu yang sempit dengan hanya bertujuan menjauhkan masalah dari hadapan kita.

Tak heran kemudian masyarakat perkotaan di Indonesia saat ini kerap disebut terjangkiti penyakit NIMBY (Not In My BackYard) karena persoalan sampah ini, dimana hanya kerap berpikir menjauhkan masalah dari hadapannya, dan peduli jika kemudian masalah tersebut menimpa orang lain di tempat lain, asalkan bukan menimpa dirinya dia tak peduli.
Membuang sampah hanya memindahkan sampah, jika sampah dianggap masalah maka membuang sampah hanya berarti memindahkan masalah dari tempat kita ke orang lain. Saatnya paradigm membuang sampah dengan benar ini kita benahi agar menjadi benar dalam penerapannya.

Tidak cukup istilah ‘kebersihan sebagian dari iman’ jika cara kita berbuat bersih adalah sebatas memindahkan dan menjauhkan sampah dari hadapan kita, kemudian kita merasa bersih dan beriman. Cara kita memindahkan masalah hanya sebagai jalan melempar masalah (sampah) kita ke orang lain dan akhirnya membunuh orang di tempat lain seperti tragedi Leuwi Gajah diatas, dan cara berpikir melempar masalah seperti ini tentu bukanlah cara berpikir yang benar sebagai orang beriman.

Persoalan sampah harus mulai dituntaskan di lingkar terdekat dimana sampah tersebut dihasilkan,terutama di tingkat individu dan keluarga. Saatnya berkontribusi menyelesaikan persoalan sampah dengan mulai membenahi cara berpikir, bukan dengan paradigma berpikir melempar masalah (NIMBY) namun dengan mulai berpikir bagaimana seharusnya mengelola sampah di tingkat terdekat kita agar tidak menjadi masalah dan membunuh orang di tempat lain, inilah cara berpikir yang benar dari orang yang beriman.


* * * *

Tidak ada komentar: