(Keponakanku yang pernah 'mengadukan' pengalamannya di kelas dengan penuh keheranan) |
Cerita keluguannya kembali kuingat setelah kemarin aku bertemu sahabatku seorang pegiat pendidikan(dia memilih panggilan itu daripada kata guru) dengan dua orang kawannya yang lain di rumahnya, dan nampaknya merekapun memiliki perhatian dan minat yang sama pada dunia pendidikan di negeri ini.
Perbincangan kami berempat sedikit banyak menyinggung dunia pendidikan saat ini serta beberapa pengalaman interaksi mereka dalam dunianya tersebut.
Tapi bukan tentang diskusi ini yang ingin kutulis disini, melainkan tentang pengalaman keponakan kecilku saat masuk di tahun pertama sekolah dasarnya tiga tahun lalu.
Satu kali saat berada di kelas 1 SD dia pernah datang dan bercerita padaku(tepatnya mengadukan pengalamannya di kelas) tentang rasa herannya saat gurunya di kelas menyalahkan jawaban(jujur)nya yang dia sampaikan saat gurunya bertanya padanya.
Diantara semangat dan rasa herannya kuingat kira-kira percakapan kami saat itu. Dia bernama Mohammad Abdul Syukur, namun panggilan sehari-harinya adalah Abie. Sedangkan dia dan keponakanku yang lain memanggilku dengan sebutan Abah.
"Abah, kenapa ya jawaban abie disalahkan sama bu guru waktu abi bilang barang-barang yang ada di dalam rumah abi tempat orang berkunjung(ruang tamu maksudnya) itu adalah tempat tidur dilantai, tv, lemari pakaian, mainan dan tempat makanan?”.
Aku lantas bertanya padanya, “Memangnya jawaban yang menurut ibu gurumu itu apa Bie?”.
“Ibu guru bilangnya sih yang ada di ruangan tempat orang bertamu di rumah kita itu adalah kursi tamu dan meja tamu. Padahal kan ibu guru itu tidak pernah datang ke rumah Abie, dan di rumah Abie itu tidak ada kursi dan meja tamu”.
dan seterusnya dan seterusnya …
(Tiga keponakanku lainnya diantara barang-barang dalam rumah kontrakan) |
Aku saat itu berpikir dan heran juga dengan konsep ‘benar ideal’ menurut gurunya yang notabene dari sudut pandang relatif seorang dewasa.
Sementara aku justru melihat sebuah konsep ideal menurut orang dewasa itu belum tentu merupakan kebenaran yang ideal, apalagi bila harus kemudian dipaksakan dijejalkan pada dunia dengan cara pandang dan sudut pandang yang lain, seperti pada anak-anak yang masih lugu. Bahkan justu aku melihat sebuh kebenaran yang sesuai dengan realitas serta jujur seperti yang disampaikan lugu oleh seorang anak kelas 1 SD itu justru tidak dihargai dan hanya dipandang dari kacama benar-salah.
Keponakan kecilku memang tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil bersama Ayah Ibunya yang pada kenyataannya memang tidak menyediakan meja dan kursi buat tamu. Tamu yang berkunjungpun cukup duduk lesehan di gelaran karpet di lantai ruangan. Kemudian ruangan itu berfungsi juga sebagai ruang keluarga, ruang makan sekaligus ruang tempat tidur.
Cukup banyak lontaran keherananku setelelah cerita keponakan kecilku itu, jangan-jangan selama ini masih banyak diantara mereka yang mengandalkan kejujuran yang benar harus disalahkan oleh sebuah konsep ‘kebenaran ideal’ menurut kacamata pandang kebanyakan orang atau orang-orang dewasa(seperti kasus keponakanku dengan gurunya).
Bahkan konsep sebuah ruang tamupun seperti cerita diatas harus seperti bayangan ideal seorang dewasa yang ‘notabene dipaksakan’ pada anak kecil. Nyatanya bagi siapapun yang berpikir dewasa dengan terbuka justru konsep ruang tamu itupun masih sangat bisa diperdebatkan dan tidak harus selalu ada kursi dan meja tamu.
Dan akhirnya kejujuran yang lugu dari seorang anak kecilpun harus berati salah atau benar dihadapan ‘egoisme’ orang-orang dewasa yang mendiktenya.
Anak-anak hingga hari ini baik di dalam kelas-kelas sekolah formal ataupun di dalam lingkungan sosialnya sangat mungkin masih menjadi korban untuk 'dipaksa' menerima kebenaran menurut konsepsi pemahaman orang dewasa melalui corong pengajarnya di kelas atau orang-orang dewasa di sekitarnya.
Hingga akhirnya kejujuran dan keluguan realitas sekaligus sebagai asasi pandangan seorang anak kecilpun dinafikan dan dinilai sesuatu yang salah, sungguh memprihatinkan.
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar