11 September 2010

tape ketan uwa istri... (sebuah kasih sayang yang tulus diantara lintasan waktu)

   Lebaran dalam pandangan sederhana masyarakat umum selain selalu identik dengan mudik, identik dengan berpakaian baru, juga identik dengan hidangan-hidangan khas tahunan yang hampir selalu ada di tiap-tiap keluarga.

    Salah satu hidangan khas lebaran yang aku suka adalah tape ketan hitam, terutama buatan Uwa (sebutan bahasa sunda kepada kakak dari orang tua kita). Aku merasa tergoda untuk akhirnya menuliskan tentang tiga hal ini di blogku, tentang Uwa-ku, tape katan hitam dan tentu saja sawah dimana padi ketan itu ditanam. Setelah kembali aku kembali merasakan nikmatnya tape ketan olahan tangan dari Uwa istri ini pada lebaran ini.

(Uwa istri, yang masih semangat di usia sepuhnya)
    Beliau(Uwa istri) kini seorang janda yang belum genap setahun ditinggal 'pupus' (bahasa sunda untuk kata meninggal) oleh suaminya. Pasangan sepuh ini memang sangat pandai membuat tape ketan hitam yang rasanya begitu manis segar tanpa bahan pemanis buatan, rasanya yang 'kareu'eut' (manis segar alami) membuatnya begitu menggiurkan disantap saat cuaca panas. Tak hanya itu, mereka juga pandai membuat olahan makanan-makana tradisional sunda lainnya selain tape ketan. Begitulah, sepeninggal suaminya kini uwa istrilah sendiri yang membuat tape ketan yang khas ini.

    Beliau sepuh yang masih terbilang tetap bugar dan semangat, bahkan tutur sapanya selalu menunjukan dia seorang yang penuh semangat di usia sepuhnya, barangkali  karena aktifitasnya yang selalu bergerak dan bekerja di sawahnya yang tinggal beberapa tumbak saja itu membuatnya tetap terlihat segar. Beliau dan almarhum suaminya adalah tipe pekerja keras yang penuh kesederhanaan.

    Lebaran ini beliau datang ke rumah kami yang hanya beberapa puluh meter saja jaraknya dari rumahnya, dan tidak berlama-lama di rumah kami, karena ada tempat lain yang menjadi sangat istimewa baginya saat ini dan begitu ingin dia kunjungi segera, makam almarhum suaminya(Uwa pameuget).

    Ya, beliau ingin segera menatap kekasih hatinya yang sudah berpuluh tahun hidup bersamanya yang sisa jasadnya kini terbaring di pemakaman umum penduduk lokal, walau tentu saja keingginan itu hanya bisa ditumpahkan dengan hanya menatap gundukan tanah makam suaminya. Makam yang berada di satu bukit kecil yang tersisa di diantara tanah-tanah kosong milik pengembang pemukiman dan himpitan vila-vila mewah di lereng utara Bandung yang kini bernama Resort Dago Pakar.

(Satu tempat yang dalam pandanganku sudah sedemikian rupa menghancurkan tatanan kearifan lokal daerah asal sebelum dibangun saat ini, hingga menghancurkan secara fisik rantai ekologi dan sosial yang telah terbangun secara alami di kawasan itu jauh-jauh masa sebelum pengembang-pengembang pemukiman itu datang.

Tapi aku sedang tidak ingin menceritakan tentang kawasan yang 'gila' ini, karena hanya akan membuat jengkel dengan yang namanya pengelola negeri ini di tingkat lokal atas perilaku dan 'kebodohan' mereka menggadaikan sebuah sumberdaya alam.
Aku hanya ingin bercerita saja tentang Uwaku saat ini...).

    Makam itu menjadi sangat istimewa saat ini baginya ketimbang tempat-tempat lain dan berlimpahnya hidangan istimewa diantara kemegahan hari raya serta senyum bahagia setiap keluarga.

    "Uwa teu tiasa lami-lami, hoyong enggal-enggal munjungan si Uwa pameuget di makam...."

Begitu ucapannya pada kami diantara matanya yang kembali berkaca-kaca.
    Tak kuasa airmatakupun perlahan ikut pecah diam-diam, terharu diantara percakapan keluarga ini. Inilah cinta dan kasih sayang sesungguhnya yang abadi melintas waktu, demikian pikirku saat itu.

    Dan sekonyong-konyong terlintas kenangan sosok almarhum suaminya yang begitu ramah dan penuh kharisma bagiku semasa hidupnya. Beliau berdua memang orang tua yang sangat penuh kebaikan, hingga hampir pasti semua orang di kampung(yang sudah menjadi kota) ini mengenalnya dengan cukup baik, mengenal kebaikan-kebaikan kedua pasangan sepuh ini.

    Kini memang tinggal uwa istri yang sendirian mengurus sawahnya, meskipun dalam proses mencangkul dan membajak sawa yang hanya tinggal beberapa petak ini diserahkan kepada para pengupah, namun tanggung jawab mengelolannya tetaplah berada di tangannya, sementara anak-anaknya tidak ada yang total melanjutkan menggarap sawah sepeninggal suaminya.

    Sawah yang hanya beberapa petak, yang masih diairi oleh mata air yang tinggal beberaa yang tersisa di sekitar tepian sawah ini, ternyata masih mampu menghasilkan padi yang berkualitas dan menjadi hidangan istimewa bagiku di hari raya ini.

    Sawah yang mengingatkanku pada sepasang sepuh yang selalu giat dan semangat dalam hidupnya ditengah kesederhanaan.
Sawah yang mungkin juga hanya akan bertahan dalam hitungan bulan atau tahun saja, diantara desakan bangunan-bangunan beton yang mulai merambah masuk.
Sawah yang mengingatkanku begitu tidak becusnya pengelola kota ini menyelamatkan aset-aset subur dan potensial di dalam kawasannya.

    Itulah salah satu sawah yang masih tersisa di dalam kota bandung, yang masih diairi oleh kucuran mata air disela-sela lereng dan rumpun bambu yang juga mulai perlahan tergerus pemukiman mewah.
Sawah yang kini masih dikelola oleh uwa istri sepeninggal pujaan hatinya dan pendamping hidupnya berpuluh tahun, yang kini terbaring di makam sepi di bukit kecil bernama Jiwanaya ...



Cigadung Wetan Bandung, 2 syawal 1431 H.

(Terima kasihku buat uwa istri dan almarhum suaminya...., mengajarkan sebuah cinta dan kasih sayang abadi yang tulus tak lekam oleh waktu)


* * * *



Tidak ada komentar: