Pagi ini mulai kususuri bentang pantai timur, langit masih teduh oleh gumpalan awan, angka tujuh di jam ponselku, angka yang dianggap banyak orang sebagai keberuntungan.
Lidah gelombang menjilati berlaksa pasir di bibir pantai, menyapa lembut hingga semua sujud rata menuruti irama dan belaian lidah gelombang.
Aroma pesisir begitu kentara di hidungku, hembusan anginnya menerbangkan buliran-buliran kelembaban embun lautan.
Duhai, sungguh segar udara pantai pagi ini, bercampur aroma pesisir, terasa begitu padu dengan riak gelombang. Oh..., begitu sempurna.
Gulungan awan berderap seperti berlaksa kabut pacuan kereta para dewa, begitu rapih membentuk gelombang. Sementara sang mentari malu-malu berusaha menyeruak diantara celah gumpalannya.
Beberapa menit lalu sempat turut kudorong sebuah biduk kecil bersama dua orang nelayan, hingga menyentuh ujung lidah gelombang pantai. Lidah gelombang yang menjulur lapar, melahap biduk jauh ketengah teluk yang masih teduh. Ya mereka hendak menjemput segala pengharapan mereka yang tuhan tebarkan di dalam perut teluk ini.
Dan kini sebuah perahu menepi, menghampiri seorang pria setengah baya yang terlihat termenung penuh harap. Semenjak aku belum tiba di sudut pesisir ini aku yakin dia sudah disini, menunggu biduk penuh harap.
Begitu mantap perahu itu menepi, diantar deburan ombak dan mentari yang masih malu-malu menyeruak diantara gumpalan awan.
Berlabuh, sebuah kata yang selalu padu dengan sebuah perahu, meskipun bukan untuk berlabuh perahu-perahu itu dibuat. Namun pantai dan dermaga akan tetap menjadi tujuan akhir sebuah proses mengadu pengharapan di tengah lautan.
Pantai memang tempat berlabuh, bukan hanya bagi meraka yang berharap di tangah lautan, tapi juga bagiku hari ini, pantai menjadi tempat untuk sejenak mengadu dan rebah dari segala rutinitas nun jauh di pucuk-pucuk keramaian perkotaan, diatas ketinggian lebih dari 500 meter diatas permukaan laut.
Begitu tergesa ingin kumengadu dan menumpahkan segala kepenatan di bahu ini, pada hamparan pesisir yang masih sepi. Bergegas kuhampiri mereka, lidah gelombang yang sedang asyik bercumbu dengan pasir. Kutumpahkan segala beban dengan larut bersamanya, dibawah tatapn batas cakrawala, diantara gumpalan awan pagi dan mentari yang masih sembunyi malu-malu.
ya, pagi ini aku berlabuh juga disini, kucoba endapkan segala kepenatan rutinitas bertahun-tahun ini, kupilah satu demi satu tanpa rasa khawatir akan waktu yang menguap, kuayak diantara deburan ombak, jilatan lidah gelombang, hembusan angin, gumpalan awan dan aroma pesisir, berbaur dimetil sulfida. bersama ritual rutin para nelayan sepanjang hidupnya. Aku larut didalamnya.....
kuambil sisa-sisa energi positif yang masih ada diantara berlaksa kepenatan dan mata hati yang kurasakan tumpul.takan kubiarkan energi ini lenyap setelah kudulang seperti buliran emas, diantara pasir dan air bercampur racun merkuri.
Kucoba himpun kembali energi ini, diantara goresan tinta hitam samar diatas kertas daur ulang. Kuhempaskan tarikan nafasku, diantara desir angin pantai dan aroma garam laut selatan.
Besok aku akan kembali menuju teluk pengharapanku, yang hingga detik ini tak pernah kutahu batas misterinya. Yang aku tahu, aku tak mungkin menyerah dalam perjalanan. yang harus kulakaukan adalah terus melangkah, mengisi ruas-ruas bumi yang masih kosong, menapakan jejak lagi.
catatan perjalanan
26 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar