Daun-daun cokelatnya luruh berserak di tepian hingga badan jalan, beberapa ruas aspal dan tanah yang masih tergenang nampak menggigil, tapi tidak pernah dia berharap mentari kembali menghangatkannya.
Kupilih waktu itu untuk sekedar berjalan menghirup aromanya, melalui beberapa ruas jalan dan sudut-sudut utara kota ini. Tak jarang saat sisa gerimis masih terbawa oleh angin sore, menjadi pilihan favoritku untuk bertualang kecil dalam kota, meskipun kadang tanpa satu tujuan pasti.
Suasana kota yang terasa jauh lebih ramah, dengan sedikit saja kendaraan yang melintas di ruas-ruas utama jalan. Suasana kota yang masih bisa kuingat belasan tahun lalu, di kota ini.
Dan sore ini, hari minggu sehabis hujan, masih di kota yang sama, dengan polusi dan kemacetan yang jauh lebih parah. Aku masih sempat merasakan kembali aroma belasan tahun lalu itu. Saat mulai melangkahkan kaki meninggalkan halaman rumah hampir dua jam lalu.
Sore yang lebih teduh dan dingin saat kuterima sms-mu, meminta mengantarmu ke terminal bis untuk pulang. Meski hanya sehari, kamu ingin sejenak menghasibkan libur tahun baru imlek besok bersama keluarga di kotamu.
Sisa-sisa pepohonan masih kuyup oleh sisa hujan, anginnya masih menghembuskan titik-titik gerimis serta jalanan yang tidak sesibuk hari-hari kemarin, saat aku mengantarmu ke satu sudut batas kota.
Satu titik dimana bis-bis tujuan Bekasi, Jakarta, atau kota lainnya di barat sana berderet menunggu penumpang, beberapa ratus meter diluar pintu tol. Bis yang selalu melewati kotamu sebelum sampai di tujuannya.
Sementara diatas sana, langit masih tetap mendung, mengukuhkan mitosnya sebagai pengiring datangnya tahun baru imlek esok hari.
Terasa singkat waktu kita tempuh menuju tempat ini, entah karena kita yang larut dalam irama waktu atau karena ruas jalanan memang tidak terlalu macet, aku tidak tahu persis. Yang kuingat adalah kita tempuh jarak tadi dengan beberapa obrolan ringan, hingga kemudian kamu katakan tentang cepatnya waktu tempuh menuju titik ini.
Terasa cepatnya waktu berlalu berarti pendeknya juga batas perjumpaan kita sore ini. Hanya beberapa menit saja aku berdiri bersamamu, di depan pintu bis yang akan membawamu pulang, diantara sedikit obrolan kecil tentang tawaran mengantarmu sampai batas kota tertentu.
Kugenggam erat jemari tanganmu diantara senyummu yang khas, nampak semakin menambah sipitnya jendela matamu, meski kamu bukanlah keturunan tionghoa.
Itulah senyum penutup sore ini, senyum manis dan lucu yang menghiasi teduhnya ambang petang, saat kuantar kau hingga batas kota ini.
Dan lengkap sudah suasana petang ini mengantarku kembali, saat lampu-lampu di jongko-jongko pasar malam mulai menerangi aneka dagangan. Diantara aroma sayuran dan membusuknya bahan-bahan organik pasar yang kulalui.
Sementara sayup dari sela himpitan gedung-gedung beton kusam kudengar lantunan ayat-ayat suci, menjelang adzan maghrib. Aku masih tertuduk didalam kendaran ini, melewati jalan-jalan kota yang mulai diterangi sorotan lampu merkuri, mengantarku pulang ke satu titik lain di utara kota ini. Kubaca pesan singkatmu di ponselku, untuk berjumpa kembali esok sore.
Sore sehabis hujan, masih menyisakan kemiripan raut dan aromanya seperti belasan tahun lalu, masih di kota ini.
(Aku merasa pernah mengenali sore ini)
* * * *
Bandung, 25 Januari 09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar