Satu bagian menarik yang paling kuingat dari perbincangan dengan uwa dan satu kerabatku malam itu, adalah saat tiba-tiba satu pertanyaan dilontarkan uwaku kepadaku dan kerabatku, ”lantas ada dimana Tuhan itu?” demikian pertannyaannya.
Pertanyaan yang kerap dianggap(dan dijawab) sepele, namun cukup mengusik rasa kantukku malam itu, pertanyaan secara tidak sadar terhubung dengan satu kata lain yang menjadi “klik” pemicu ingatanku akan kejadian itu, kata “ngancik”.
Aku tidak ingat persis mulai dari tema apa perbincangan kami(aku, uwaku dan kerabatku), hingga akhirnya tiba pada bahasan tentang Tuhan.
Entah karena perbincangan seputar keTuhanan dan hal-hal yang spiritual ini memang jadi kegemarannya para sepuh seperti juga halnya uwaku, atau berbincang tentang isu ini memang membuat banyak orang larut mendalam, termasuk bagiku.
Yang kutahu, kami bertiga saat ini memiliki kesamaan angka di usia, yaitu angka Tujuhpuluh. Hanya saja tujuhpuluh bagiku dan kerabatkau adalah tahun bilangan puluhan dimana kami lahir, sementara angka tujuhpuluh bagi uwaku adalah jatah usia yang dia sudah dapatkan selama ini.
Selebihnya dia hanya berkata dengan ringan bahwa sekarang hanya tinggal sedikit sisa(usia) yang dia punya.
Lantas ada dimanakah Tuhan itu?, secara sederhana kami menjawab layaknya murid sekolahan yang ditanya oleh gurunya, ”Tuhan itu tidak menempati satu tempat, dan Tuhan tidak tertampung dalam satu tempat apapun”. Itu jawaban singkat kami, dengan sigap tentunya.
Kemudian aku coba tambahkan penjelasan, serinci yang kupikirkan(sambil sedikit sok berkerut kening), sambil mencoba menyelami apa sebenarnya yang ada didalam pikiran uwaku ini, sementara sebetulnya otakku sendiri belumlah tune in pada bahasan ini.
”Menurut si fulan, menurut penafsiran si anu, bahkan dari kutipan syair para pujangga hingga ungkapan para sufi, mereka mengatakan bahwa Tuhan itu tidak tertampung dalam apapun yang kita tahu, kita pikirkan atau yang kita pernah alami”.
”Namun Tuhan bisa tertampung dalam hati(qalbu) kita”. Demikian uraianku dengan sok serius malam itu, hingga lupa segelas bandrek jatahku yang dipesankan kerabatku dari tadi sudah mulai mendingin.
Kemudian dengan santainya uwaku kembali bertanya menggugat, tentunya dalam bahasa sunda,”terus mun bisa katampung di na jero hate mah, berarti nempatan ruang atuh gusti teh?”, (”lantas kalo tertampung di dalam hati, berarti Tuhan itu menempati ruang?”).
Kami tidak lagi bisa lebih dalam menjawab pertanyaannya, yang pasti selain karena pemahaman kami memang begitu payah soal isu ini, ditambah lagi penggunaan bahasa(sunda) yang membuat kami begitu sulit mencari padanan kata untuk penjelasan teoritis, dan yang lain lagi tentunya karena keterkejutan kami akan arah obrolan yang tiba-tiba menjadi begitu mendalam.
Berusaha keluar dari perangkap pertanyaan yang membuat kami tak berkutik, aku coba balikan pertanyaan itu pada uwaku,”lantas menurut uwa, bener nggak Tuhan itu bisa tertampung di dalam hati kita?”
Sederhana jawaban uwaku, bahkan sepintas seperti jawaban populer, ”Tuhan itu tidak tertampung di dalam satu tempat(dia tidak menyebutkan secara spesifik tentang hati), dan kalaupun selama ini kita bilang Tuhan itu ada di hati, maka yang ada di hati itu adalah sifat-sifat Nya(sifat-sifat keTuhanan)”.
”Sifat-sifat Tuhan ini bukanlah Tuhan, namun demikian sifat-sifatnya iniliah yang bisa merefleksikan keTuhanan itu, merefleksikan adanya Tuhan”. ”sifat-sifat Tuhan itu ’ngancik’ pada mahluknya”. Demikian penjelasan sederhana dari uwaku.
Kata ’ngancik’ aku bisa memahaminya(tentunya dalam pemahaman bahasa dan rasa sunda), tetapi tetap saja sulit mencari padanan kata ini ketika harus digantikan dengan kata dalam bahasa Indonesia, mungkin kurang lebih semacam bersemayam.
Namun demikian kata ngancik ini jadi kata klik, yang mengingatkanku pada obrolan malam itu, bersama uwaku dan satu kerabatku.
Padahal kata ngancik ini kerap aku dengar juga saat seniman-seniman sunda banyak gunakanan dalam ungkapan, ucapan, lakon dan karya mereka.
Terakhir, pesan sederhana yang aku tangkap dari uwaku adalah, berharap dan berusahalah agar hati kita bisa ”ka’ancikan” sifat-sifat(Tuhan) ini, karena dengan nganciknya sifat ini pada mahluk berarti merefleksikan eksistensi dan keberadaan Tuhan.
Obrolan menggugat dari uwaku, yang kini berusia 70 tahun, yang seorang pensiunan ABRI dengan pangkat terakhirnya sebagai kopral (saat uwaku pensiun, nama TNI masih menggunakan nama ABRI).
Obrolan filosofis bersama uwaku yang entah karena bawaan usia atau karena tema bahasan hingga tiba-tiba jadi filosifis, disaat usia kami terpaut cukup jauh, hingga dia berkata sudah sulit menemukan kawan seangkatannya karena kebanyakan sudah pada meninggal.
Itulah yang aku ingat beberapa waktu lalu dari uwaku yang tiba-tiba bisa mengalahkan daya tahanku dalam urusan begadang malam, setelah sekian lama tidak berjumpa untuk berbincang mendalam.
Yang menyediakan beranda rumahnya yang kini jadi warnet dikelola anak bungsunya, untuk berbincang hingga lewat tengah malam, dengan hidangan bandrek dari mang Endang yang rutin berjualan setiap malam dengan rodanya, di sekitaran Cigadung Raya Barat, Tengah dan Pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar