Beberapa saat kami saling terdiam, hingga akhirnya kau berkata, "keluargaku menginginkan yang lain". Demikian kurang lebih tuturmu, diikuti airmata yang kembali pecah dan membasahi pipimu.
Di kursi tamu yang tersisa dalam ruangan utama rumah mendiang nenekmu, airmata kita kembali tumpah. Sementara di seberang sana, dihalaman rumah pamanmu, Ibundamu tengah mencatat hasil timbangan berkarung-karung padi panenan, sambil berbincang bersama sang paman.
"tapi aku ingin dirimu, dirimulah pilihanku, aku ingin bersamamu". Kau sebutkan namaku dalam kata-katamu, disela isak-tangismu.
entah ke berapa kalinya airmata kami kembali tumpah, demi sebuah niatan suci untuk bersatu, dengan sebuah harapan diraihnya restu ayah bunda.
Itulah saat-saat yang memilukan, sekaligus indah yang mampu menguatkan tekad dan semangatku hingga detik ini. Saat dimana kau ucapkan pilihanmu atas diriku, diiring sebuah niatan suci dan harapan akan kebahagiaan bagi ayah bundamu atas pilihanmu. Kita bersumpah atas nama mendiang nenekmu saat itu.
Aku berjanji, aku akan menjadi pendamping hidupmu, aku berjanji akan berusaha hingga batas akhir kemampuanku untuk selalu membahagiakanmu, aku berjanji aku tetap mencintaimu. walau hingga hari ini kerap kesedihan dan perih engkau rasakan bersamaku, yakinlah itu hanya ujian kecil menuju kebahagiaan kita saat bersama kelak.
kita akan meraih restu itu, cepat atau lambat, dan kita akan bersama selamanya.
kita mohonkan pada-Nya agar restu mereka segera kita raih...
kita berserah pada waktu, ditengah ikhtiarku....
aku tetap mencintaimu.
(Karang Mukti, Purwakarta 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar