01 Mei 2009

antara hak dan kewajiban

Hari buruh, ketika mendengar kata ini yang pertama muncul dalam benak adalalah tentang ‘bekerja’, tentang hak dan kewajiban.


Perbincangan, diskusi dan perdebatan tentang mana yang harus diutamakan antara hak dan kewajiban hingga kini kerap muncul, dengan berbagai latar kondisi dan argumentasinya tentu.


Terlepas dari apa yang harusnya diutamakan dan didahulukan, biasanya kita akan lebih antusias dan berapi-api bila menujukan dan mengarahkan kata KEWAJIBAN itu bagi orang lain diluar diri kita, sehingga tak jarang muncul banyak tuntutan bagi orang lain untuk melakukan sesuatu yang kita nilai sebagai bentuk dari kewajibannya. Tak jarang juga muncul berbagai kritikan hingga penilaian kita kepada orang lain ketika dianggap tidak bisa menjalankan kewajibannya(menurut penilaian kita).


Sementara ketika kita membicarakan kata HAK, biasanya akan lebih nyaman dan menyenangkan bila kata ini diarahkan pada diri kita, untuk kita. Sehingga tak heran muncul(lagi) banyak tuntutan yang kali ini kita tujukan kepada orang lain yang dianggap tidak bisa, tidak mampu dan tidak mau memberikan hak-hak kita yang kita anggap harus kita dapatkan sebagai orang yang tidak adil dan tidak bijaksana.


Sebelum kita membicarakan mana yang harus lebih diutamakan dan didahulukan, atau bahkan sebelum kita mengatakan kita harus menyeimbangkan hak dan kewajiban seperti banyak pendapat juga tentang pemahaman “menyeimbangkan” ini, bagaimana bila saat kita berbicara hak itu kita tujukan pada orang-orang diluar diri kita, sedangkan saat membicarakan tentang kewajiban itu kita tujukan pada diri kita terlebih dahulu.


Entah apa yang akan terjadi, namun menurutku asumsi-asumsi diatas tentang mana yang lebih perlu didahulukan, mana yang lebih utama, perlu atau tidaknya diseimbangkan, akan sangat bergantung pada konteks kasus yang terjadi dan cara pandang(paradigma) kita. 


Sehingga aku berpikir asumsi diatas akan sangat kondisional untuk setiap kasus atau isu.
Misalkan ketika sempat beberapa kawan berdiskusi tentang memberi uang(bersedekah) pada peminta-minta di jalanan, yang dianggap sebagai orang yang sangat miskin, miskin dengan definisi awam tentunya(karena kemiskinan itu punya banyak definisi dan dimensi), maka beberapa pendapat yang muncul adalah:


Mereka itu harus dibantu tanpa kita perlu meminta atau mengajukan syarat-syarat kepada mereka. Toh mereka jadi miskin bukan karena keinginannya, tapi lebih karena sistem negara dan distribusi kekayaan negara yang tidak bisa mereka akses, karena kekayakan negeri ini lebih condong/lebih mudah hanya diakses oleh orang yang udah kaya dan mampu, sehingga tak heran yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Inilah salah satu pendapat yang tentunya juga dilatarbelakangin dengan paradigma yang ada dikepalanya dan digunakan sebagai dasar argumentasinya.


Namun ada juga yang berpendapat mereka (pengemis, orang miskin) jangan diberi begitu saja, biar mereka tidak malas. Seharusnya mereka bekerja keras dan berikhtiar biar bisa menjadi kaya dan terhormat. Memberinya begitu saja akan mendidiknya menjadi pemalas!. Demikian katanya, yang intinya harus melakukan dahulu kewajiban-kewajibannya maka akan mendapat haknya.


Dan ada juga kawan yang dengan sederhana cukup berkata, “ya kalo mau memberi tinggal beri aja, tanpa perlu menentukan syarat. Kalo tidak mau memberi ya ga usah beri tapi ga perlu juga komentar panjang lebar tentang mereka harus begini-begitu(menentukan syarat)”.


Kemudian lanjutnya “Toh yang kita lakukan adalah bagian dari peran kita di dunia ini, ada yang memberi ada yang menerima”


Rupanya kawanku ini sangat percaya kalo dunia ini sebagai panggung sandirwara sementara dimana setiap orang punya peran.


Pendapat sederhana yang sangat kusuka dan sangat menarik menurutku, tapi tentu saja seperti disampaikan diatas, tergantung konteks kasusnya dan tergantung juga paradigma yang kita pakai seperti apa.


Hingga sempet teringat satu waktu saat mendengarkan salah satu stasiun radio(lupa lagi) sedang menyiarkan acara konsultasi keagamaan(Islam), dengan topik hak dan kewajiban, sempet sang penyaji menguraikan satu ayat dari surat utama dalam shalat, yang punya arti: Hanya Engkaulah yang kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan[7]. (Surat ke1, ayat 5)


Beliau kemudian mengkaitkan dengan konsep hak dan kewajiban, dimana kata menyembah yang diletakan lebih dulu dari kata meminta pertolongan itu diartikan(menurut beliau) sebagai kewajiban yang diletakan diawal, baru setelah kita menjalankan kewajiban(menyembah, beribadah) kita bisa mendapatkan dan meminta hak kita(pertolongan dll).


Atau intinya lakukanlah kewajiban-kewajiban kita, baru kita akan mendapat hak kita, dan kita bisa meminta dan menuntut hak kita bila kewajiban kita sudah dilakukan.


Nah balik lagi dengan kata Hari Buruh hari ini, ternyata apakah tulisan ini cukup nyambung?
Hmmm…. Nggak tau juga nyambung apa tidak, yang pasti inilah yang terlontar dari memori di kepala saat mendengar kata Hari Buruh hari ini.


Dan terakhir apa kira-kira yang akan terjadi bila dua perilaku menujukan tentang hak dan kewajiban itu kita balik kita balik? Menujukan perbincangan soal kewajiban ke arah diri kita dan menujukan perbincangan soal hak ke arah orang lain.


Apa kira-kira yang akan terjadi?



[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah:

Tidak ada komentar: