Akhirnya namaku dipanggil bersama tiga peserta ujian lainnya, setelah beberapa lama menunggu di lorong luar ruangan ujian yang pagi itu menjadi pengap oleh asap rokok beberapa peserta. Antrian peserta yang sedikit berdesakan menunggu giliran wawancara diselingi canda tawa dan beberapa peserta lainnya nampak penuh konsentrasi menghafal ayat-ayat Al-Quran dan hadits dengan suara yang direndahkan, menjadikan sebuah fenomena unik yang tiba-tiba membawa ingatanku tertuju pada acara ritual di kampung-kampung adat, dimana kepulan asap kemenyan kerap mengiringi lantunan doa atau mantera dalam prosesi budaya mereka. Padahal yang nampak pagi itu adalah para pemuda yang tanpa canggung mengepulkan asap rokoknya diantara rekan-rekannya yang lain yang tengah berkonsentrasi dengan hafalannya.
Kami menjadi lebih lama mengantri karena ternyata petugas yang semestinya menguji kami tidak datang, sehingga tes wawancara bagi kelompok kami digantikan penguji lain yang ada di ruang tersebut, dan tentu saja menunggu setelah penguji ini selesai dengan kelompok peserta yang menjadi tanggung jawabnya.
“Oke, silahkan anda tulisakan di kertas kosong ini sebanyak mungkin ayat Al-Quran dan hadist yang anda ketahui”. Begitulah hal yang paling kuingat dari sesi awal ujian wawancara itu. Seorang penguji yang boleh jadi cukup moderat dari gaya bicaranya serta dari pakaiannya yang terkesan santai dengan setelan jeansnya. Beliau menyerahkan kepada kami masing-masing satu lembar kertas kosong ukuran uang sertus ribuan yang sedikit lebih panjang. Kacamata baca serta janggut dan jambang putihnya yang lebat nampak mempertegas usianya sudah jauh melebihi setengah abad, namun dari gaya bicaranya, pakaian serta gerakannya sekali lagi menandakan dia seorang tua yang cukup gesit dan moderat.
Apa yang kukhawatirkan sebelumnya memang terjadi saat itu, aku nyaris tak berkutik ketika diminta menuliskan hingga penuh ayat-ayat suci serta hadist dalam huruf arab pada kertas kosong itu. Ayat-ayat suci itu hanya sanggup menari-nari dikepalaku tanpa bisa singkron dengan gerakan tanganku.
Akhirnya hanya satu ayat saja yang sanggup aku tuliskan dalam bahasa aslinya saat itu, ayat tentang keesaan-Nya yang selama ini selalu meneguhkan keyakinanku. Hanya satu ayat saja, sementara pena tiga peserta disamping kiri-kananku asik menari-nari diatas kertas digerakan tangan-tangan yang selaras mengikuti isi pikiran si pemilik.
Namun sungguh aneh, kekhawatiranku karena ketidakmampuanku itu tidak lantas membuatku gugup apalagi ketakuan, justru sebaliknya aku merasakan begitu tenang dan sempat berpikir bahwa itulah yang mampu kulakukan saat itu, hingga tiba-tiba pengujiku menyerahkan buku padaku dan meminta membacakan ayat-ayat Al-Quran yang ada di dalamnya. “Ini lebih baik bagiku”, demikian pikirku sambil menerima buku itu dan mulai membacanya, sementara peserta lain di samping kananku menjadi saksi yang ditugasi penguji untuk mendengarkanku membacakan ayat-ayat Al-Quran itu. Dia adalah seorang gadis muda yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu Madrasah Aliyah Negeri di salah satu kota di Jawa Barat.
Tak begitu lama juga aku membaca ayat-ayat Al-Quran yang ada di buku itu, saat penguji kemudian meminta peserta lain disamping kiriku menggantikanku membacakan ayat-ayat di buku tersebut, hingga kemudian beliau mencukupkan bacaan dan memulai proses wawancara yang sungguh diluar perkiraanku bahkan mungkin diluar perkiraan tiga peserta lainnya yang saat itu bersamaku.
Hanya satu perntanyaan yang ditujukan bagi kami dan tepatnya pertanyaan itu hanya ditujukan kepada diriku, bahkan boleh jadi itu bukanlah pertanyaan akademis. Pertanyaan yang dilontarkan adalah : “Asal sekolah darimana Ded ?”.
Jawabanku bahwa aku sekolah di STM yang lulus lebih dari sepuluh tahun lalu teranyata kemudian menjadi jembatan perbincangan singkat yang hangat antara kami, tepatnya antara aku dan pengujiku, sementara peserta yang lain nyaris tidak terlibat percakapan apalagi mendapatkan pertanyaan ujian. Entah ini keberuntungan atau sebaliknya bagi mereka, namun bagiku ini adalah satu pintu percakapan yang cukup membuatku merasa beruntung saat itu.
Keselingkupan minat yang tak direncakanan, demikian pikirku, saat sang penguji akhirnya menyampaikan kepedulian yang sama denganku, minat dan keprihatinannya tentang isu lingkungan menjadi titik temu ritual wawancara itu. Aku memang akhirnya menceritakan aktivitas dan pekerjaanku saat ini, yang bergelut di lembaga lingkungan hidup yang ada di Bandung dan Jawa Barat, saat beliau bertanya kegiatanku dan pekerjaanku selepas sekolah. Beliau menyatakan respeknya, bahkan beliau menyarankan tiga peserta disamping kiri-kananku juga punya perhatian akan persoalan lingkungan hidup, dan diluar dugaan beliau mengatakan cukup mengenal ketua lembaga kami.
Perbincangan hangat yang tidak direncanakan olehku, bahkan tidak pula aku pernah berpikir untuk menjadikannya isu lingkungan hidup menjadi tema wawancara saat itu. Mengakhiri percakapan itu akhirnya beliau menitipkan salam buat ketua lembaga tempatku beraktivitas sambil beliau memperkenalkan namanya padaku.
Itulah sesi unik yang kuingat dari proses wawancara, sebuah kebetulan yang bukan kebetulan pikirku, diakhiri dengan pesan sang penguji agar kami semua berprestasi dan harus lebih banyak membaca agar lebih radikal menghadapi dosen, kemudian ditutup dengan ucapan selamat bagi kami berempat, karena menurut beliau kami diterima di kampus ini di jurusan yang kami pilih masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar