22 Juli 2009

ritual diantara kepulan "tuhan" ...

Syarat-syaraf di otakku memberi reaksi penolakan ketika aliran oksigen yang masuk ke paru-paruku ditunggangi penumpang gelap asap nikotin dari “tuhan 9 Cm”, sebutan bagi sebatang rokok yang digunakan sastrawan Taufik Ismail dalam puisinya.
Lorong diantara deretan ruang ujian di gedung yang pagi itu berubah nama menjadi gedung “Z” memang terasa pengap menyiksa. Kepulan asap putih tuhan sembilan centi dari beberapa pemujanya ini nampak berbalut diantara jejalan dan gurau canda para calon mahasiswa peserta ujian wawancara pagi itu. Bahkan asap ini tak ragu juga menghampiri beberapa peserta ujian yang nampak berkonsentrasi menghafal ayat-ayat suci serta hadist dengan suara yang direndahkan.
Suara hafalan yang direndahkan beberapa peserta yang nampak khusyu, gurau tawa dan diskusi-diskusi lorong sempit yang riuh, berpadu dengan balutan asap tipis dari sang “tuhan sembilan centi”, membawa ingatanku pada suasana lain yang jauh dari konteks ujian perkuliahan. Suasana dari dari ritual budaya masyarakat tradisional di beberapa tempat yang pernah kusinggahi.
Mata dan pikiranku menerawang bukan pada hafalan atau cara menghadapi penguji, tapi pada pada belasan pemuda calon mahasiswa di lorong ruang ujian ini, yang tanpa canggung menghisap dan mengembuskan asap rokok saat menunggu giliran ujian wawancara.
Sungguh kondisi yang memprihatinkan pikirku saat itu, disaat beberapa calon mahasiswa lain nampak berkonsentrasi penuh menghafal bacaan-bacaan dari Al-Quran dan hadist-hadist yang mungkin akan ditanyakan penguji pada saat wawancara, sementara mereka tanpa canggung menebar racun atas dari prosesi menghambanya pada batang-batang rokok itu.
Aku selalu melihat kesia-siaan dibalik kepulan asap rokok itu. boleh jadi karena dampak kecanduan yang ditimbulkannya sehingga menjadikan ketergantuangan yang sangat sulit dilepaskan, bahkan banyak perokok nyandu yang lebih memilih menunda makan daripada harus menunda ritual bagi tuhan sembilan centinya. Mungkin kondisi inilah yang menjadi alasan Taufik Ismail menyebutnya dengan kata “tuhan 9 Cm”, tuhan bagi para pecandunya.
Kepulan asap dari batang-batang rokok yang dibakar dalam benakku berbanding lurus dengan musnahnya jutaan hektar hutan dan keberagaman hayatinya, berbanding lurus dengan sekian juta anak negeri ini yang harus menjadi korban keganasannya disaat menjadi perokok pasif, berbanding lurus dengan derita kalangan ekonomi bawah, yang harus menggunakan fasilitas-fasilitas publik “kelas ekonomi” yang tidak pernah bisa bebas dari asap mematikan para penumpang yang merokok. Hingga tak heran bila kelompok-kelompok pegiat anti rokok di bumi ini memandang perusahan-perusahaan rokok itu patut disejajarkan dengan perusahaan senjata, karena dampak produknya yang secara masif membunuh manusia bahkan lintas generasi. Hingga tak heran juga bila kalangan aktivis lingkar studi Corporate Social Responsibility memandang perusahaan rokok tidak tidak akan pernah bisa mengkalim bahwa mereka ber CSR dari usahanya, karena dampak dari produknya tidaklah bertujuan untuk arah perbaikan manusia, tapi ke arah pembunuhan manusia yang terencana.
Aku sempat bertanya dalam pikiranku saat itu, apakah calon-calon mahasiswa ini juga akan menjadi bagian dari mereka yang secara sadar atau tidak telah berperilaku seenaknya tanpa berpikir orang-orang disekitarnya? Sementara pertanyaanku yang lain disaat yang sama adalah pernahkah mereka terpikir dampak mematikan dari racun yang mereka tebar bagi orang lain seperi di lorong depan kelas-kelas ruang wawancara ini? Ah, jangankan bagi orang lain pikirku, bagi dirinya sendiripun mereka tidak peduli.

***

Tidak ada komentar: