“Mau mendaftarkan adiknya pak ?”, begitulah pertanyaan ramah dari salah satu mahasiswa padaku, disaat mengantri untuk membeli formulir pendaftaran. Aku tahu dia mahasiswa kampus ini setelah memperkenalkan dirinya pada percakapan berikutnya. “Bukan”, jawabku. “Saya membeli formulir pendaftaran untuk saya sendiri”. Raut mukanya sedikit berubah, entah malu atau kikuk, dan rasanya raut itu juga yang aku alami ketika secara spontan jawabanku meluncur tanpa basa-basi dan polesan apapun, untuk sekedar berlindung dari pertanyaan tadi.
Kami berbincang cukup lama sambil menunggu namaku dipanggil petugas di loket antrian. Lebih lengkap kini informasi yang kudapat bahwa disini banyak juga orang-orang sepertiku, yang mendaftar dan berkuliah pada usia sudah jauh dari usia kelulusan rata-rata sekolah menengah atas, hingga tak heran juga aku dipanggil bapak oleh mereka meski aku belum punya istri apalagi anak. Namun nampaknya garis-garis wajah yang secara kasat mata nampak ini yang bisa menunjukan kisaran ketuaan usiaku dibanding pendaftar lainnya. Nampaknya ini juga yang menyebabakan aku dipanggil dengan kata bapak oleh beberapa orang di tempat ini. “Memang sudah waktunya mungkin untuk saya menjadi seorang bapak”, demikian sahutku pada mahasiswa muda tadi diantara percakapan kami.
“Saya salut dengan akang dan orang-orang seperti akang, yang rela meninggalkan kemapanan pekerjaannya demi belajar lagi dan mencari ilmu”. Kali ini dengan mengganti kata bapak buatku, inilah bagian pernyataan yang berkesan dari mahasiswa ini, pernyataan yang menyemangatiku di hari pendaftaran, dari seorang yang tidak aku kenal, karena memang tak terpikir saat itu untuk bertanya siapa namanya, bahkan untuk kembali mengingat wajahnyapun rasanya sulit bagiku, diantara ratusan pendaftar dengan usia-usia yang masih segar. Ratusan pendaftar di hari pertama pembukaan pendaftaran itu dengan keceriaan di raut wajah mereka.
Semoga memang mereka akan tetap ceria mengarungi tahun-tahun mendatang perjalanan hidupnya, meskipun satu saat pasti beban dan persoalan hidup akan menjadi bagian dari perjalanan mereka. Pernah kubaca kutipan dari salah satu terjemahan buku karangan Jalaludin Rumi, bahwa beban adalah sesuatu yang dicintai dan dinantikan seorang kuli angkut di pelabuhan, karena beban itulah yang membuat mereka bisa merasakan hidup. Beban itulah yang mungkin bisa menghidupi kita dan membuat kita berarti, demikian pikirku saat itu, diantara silih bergantinya nama yang dipanggil oleh petugas di loket antrian pendaftaran.
Beban dan persoalan hidup jugalah yang kerap menjadi pengingat dan penguji niatku dalam menempuh berbagai ketidakterdugaan hidup, hingga akhirnya menjadi pengalaman-pengalaman indah ketika satu persatu persoalan itu telah dilalui.
Niat untuk selalu lurus berharap ridho-Nya dan berusaha memberi manfaat bagi yang lain ternyata tetap bersemayam dalam dada, meski kadang hanya bisikan bisikan halus tak berdaya diantara kenyataan hidup. Namun aku selalu tanamkan niat untuk mencari ilmu(pengalaman) dimanapun berada dan dalam kondisi apapun, meski bukan di jalur pendidikan formal. Akhirnya ketika saat ini aku merasa perlu kembali kedalam formalitas ini, tetap dengan harapan pengalaman ilmu yang bermanfaat yang membawa ridho-Nya.
Kami berbincang cukup lama sambil menunggu namaku dipanggil petugas di loket antrian. Lebih lengkap kini informasi yang kudapat bahwa disini banyak juga orang-orang sepertiku, yang mendaftar dan berkuliah pada usia sudah jauh dari usia kelulusan rata-rata sekolah menengah atas, hingga tak heran juga aku dipanggil bapak oleh mereka meski aku belum punya istri apalagi anak. Namun nampaknya garis-garis wajah yang secara kasat mata nampak ini yang bisa menunjukan kisaran ketuaan usiaku dibanding pendaftar lainnya. Nampaknya ini juga yang menyebabakan aku dipanggil dengan kata bapak oleh beberapa orang di tempat ini. “Memang sudah waktunya mungkin untuk saya menjadi seorang bapak”, demikian sahutku pada mahasiswa muda tadi diantara percakapan kami.
“Saya salut dengan akang dan orang-orang seperti akang, yang rela meninggalkan kemapanan pekerjaannya demi belajar lagi dan mencari ilmu”. Kali ini dengan mengganti kata bapak buatku, inilah bagian pernyataan yang berkesan dari mahasiswa ini, pernyataan yang menyemangatiku di hari pendaftaran, dari seorang yang tidak aku kenal, karena memang tak terpikir saat itu untuk bertanya siapa namanya, bahkan untuk kembali mengingat wajahnyapun rasanya sulit bagiku, diantara ratusan pendaftar dengan usia-usia yang masih segar. Ratusan pendaftar di hari pertama pembukaan pendaftaran itu dengan keceriaan di raut wajah mereka.
Semoga memang mereka akan tetap ceria mengarungi tahun-tahun mendatang perjalanan hidupnya, meskipun satu saat pasti beban dan persoalan hidup akan menjadi bagian dari perjalanan mereka. Pernah kubaca kutipan dari salah satu terjemahan buku karangan Jalaludin Rumi, bahwa beban adalah sesuatu yang dicintai dan dinantikan seorang kuli angkut di pelabuhan, karena beban itulah yang membuat mereka bisa merasakan hidup. Beban itulah yang mungkin bisa menghidupi kita dan membuat kita berarti, demikian pikirku saat itu, diantara silih bergantinya nama yang dipanggil oleh petugas di loket antrian pendaftaran.
Beban dan persoalan hidup jugalah yang kerap menjadi pengingat dan penguji niatku dalam menempuh berbagai ketidakterdugaan hidup, hingga akhirnya menjadi pengalaman-pengalaman indah ketika satu persatu persoalan itu telah dilalui.
Niat untuk selalu lurus berharap ridho-Nya dan berusaha memberi manfaat bagi yang lain ternyata tetap bersemayam dalam dada, meski kadang hanya bisikan bisikan halus tak berdaya diantara kenyataan hidup. Namun aku selalu tanamkan niat untuk mencari ilmu(pengalaman) dimanapun berada dan dalam kondisi apapun, meski bukan di jalur pendidikan formal. Akhirnya ketika saat ini aku merasa perlu kembali kedalam formalitas ini, tetap dengan harapan pengalaman ilmu yang bermanfaat yang membawa ridho-Nya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar