Jongko kering tepi jalan
Tidak sulit menemukan tempat ini, sebuah konstruksi bangunan bambu semi permanen yang nampak mencolok dari jarak puluhan meter karena isinya yang dipadati tumpukan alang-alang. Selain hanya satu-satunya di tepi jalan ini, konstruksinya yang semi permanen nampak kontras diantara bangunan-bangunan permanen lain di sekitarnya yang berderet sepanjang tepian jalan Cikahuripan Lembang.
Tidak sulit menemukan tempat ini, sebuah konstruksi bangunan bambu semi permanen yang nampak mencolok dari jarak puluhan meter karena isinya yang dipadati tumpukan alang-alang. Selain hanya satu-satunya di tepi jalan ini, konstruksinya yang semi permanen nampak kontras diantara bangunan-bangunan permanen lain di sekitarnya yang berderet sepanjang tepian jalan Cikahuripan Lembang.
Sepintas bangunan itu nampak
jauh dari kesan sebuah jongko dagangan, bahkan lebih mirip seperti saung
darurat tempat menumpuk alang-alang di tepian jalan, limbah tak berguna sisa
pembabatan lahan tidur yang siap dibuang atau dibakar. Namun jika lebih teliti
mengamati ternyata bangunan semi permanen tersebut adalah sebuah jongko tempat
berjualan, sekaligus bengkel kerja tempat penganyaman atap dari bahan alang-alang
yang telah dikeringkan secara alami.
Jika dari arah timur jongko
semi permanen ini berada di emperan kiri jalan desa Cikahuripan, berdiri tidak
lebih dari lima puluh langkah setelah melewati ujung tanjakan lembah curam jalan
kolonel Masturi, yang memisahkan Lembang kota dengan Lembang arah Parongpong.
Luasnya paling tidak
selebar ukuran dua meja pingpong, terbuat dari konstruksi utama batang-batang
bambu. Atapnya ditutup bagor plastik berwarna biru, demikian juga dengan kedua
dindidng sisinya, sementara bagian belakangnya ditutup bilik bambu setengah
badan.
Bagor plastik yang
telah usang pada bagian atapnya rasanya tidak bisa lagi dibilang layak sebagai
penahan terik di siang yang menyengat itu. Bahkan kondisinya yang usang dan
ngatung itu bisa jadi malah sama sekali tidak akan berguna sebagai pelindung
jika hujan mengguyur.
Bagian depan jongko
dibiarkan terbuka tanpa sekat, sehingga nampak bagian dalam ruangan jongko yang
dipenuhi tumpukan anyaman alang-alang yang tersususun rapih dengan bentuk
lembaran-lembaran menyisir berwarna kuning kecoklatan. Hanya menyisakan sedikit
celah ruang untuk aktifitas pemiliknya menganyam bahan. Sedangkan ikatan-ikatan
alang-alang yang belum dianyam nampak bertumpuk di sisi kiri-kanan luar jongko,
dengan ukuran masing-masing ikatan tak lebih dari sepelukan orang dewasa.
Hanya Ade, tidak lebih
Sepeda motor yang kuparkirkan di muka bangunan sisi kanan, hanya beberapa langkah dari tumpukan ikatan ilalang kering. Tak nampak pembeli siang itu, hanya aktifitas menganyam sisiran atap yang nampak kulihat saat tiba di hadapannya. Seorang lelaki paruh baya dengan dudukuy[1] menutupi kepalanya dibawah naungan bagor yang masih kurang perkasa menahan terik mentari siang itu.
Sepeda motor yang kuparkirkan di muka bangunan sisi kanan, hanya beberapa langkah dari tumpukan ikatan ilalang kering. Tak nampak pembeli siang itu, hanya aktifitas menganyam sisiran atap yang nampak kulihat saat tiba di hadapannya. Seorang lelaki paruh baya dengan dudukuy[1] menutupi kepalanya dibawah naungan bagor yang masih kurang perkasa menahan terik mentari siang itu.
Sejenak memperkenalkan diri dalam bahasa sunda cukup memberi kesan bahwa lelaki ini bertutur halus, cukup halus untuk ukuran seorang pekerja sebuah jongko usaha alang-alang, hingga akhirnya diketahui bahwa dirinya pekerja sekaligus pemilik usaha itu.
Lelaki itu bernama Ade,
tidak ada nama panjang yang merangkai dibelakangnya, hanya Ade. penduduk asli
Cikahuripan Lembang yang lahir lima tahun setelah negeri ini merdeka. Sudah
lebih dari duapuluh tahun dirinya menekuni usaha berjualan atap alang-alang,
semenjak pertama kali dirintisnya pada tahun 1990.
“Dulu
awalnya bapak hanyalah seorang gembala itik, sekitar tahun 1965, saat sedang
angker-angkernya gerombolan PKI kala
itu”. Demikian tuturnya memulai kisah diantara kegesitan
jari-jemari
menari menganyam
jumput demi jumput alang-alang, hingga tersusun rapat pada sebilah ajir bambu setebal pensil kayu dengan panjang setengah depa orang dewasa.
Tidak ada pembeli
pembeli ataupun pelanggan yang datang siang itu, jalananpun terasa lengang.
Sesekali angin menerbangkan debu-debu kering di tepian jalan dibawah teriknya
kemarau siang itu. Mungkin orang-orangpun malas keluar rumah ditengah kemarau
menyengat seperti siang itu.
Jari-jarinya yang menghitam keriput
nampak cekatan
menganyam alang-alang, perpaduan
serasi warna gelap kulit menyusup diantara helai demi helai alang-alang kering
yang menguning kecoklatan. Sementara aliran-aliran urat darah di tangannya
seperti garis-garis kawat menonjol yang memaksa hendak keluar dari lapisan
kulit keriput sepasang tangan kurus kering.
Tak lebih dari sepuluh
menit sebuah anyaman selesai dikerjakan oleh sepasang tangannya. Lembar anyaman
yang satukan dengan ikatan tali rapia sebagai penguat sela-sela sisirannya
kemudian dirapihkan, sederhana juga proses merapihkannya, hanya dengan
memangkas ujung-ujungnya menggunakan golok hingga rata.
Lembaran ini kemudian
ditumpuk mengikuti susunan lembar-lembar anyaman lain yang telah jadi di sisi
kanan dalam jongkonya.
Satu lembar anyaman
alang-alang ini kemudian dijual dengan harga tiga ribu rupiah. Harga yang cukup
mahal untuk sebuah atap bangunan jika dibandingkan dengan atap genteng tanah
liat baik dari sisi usia pakai maupun kualitas.
“Memang lebih mahal
harga atap alang-alang jika dibandingkan dengan atap genteng ataupun asbes”.
Ujar pak Ade. Ternyata pemesan atap alang-alang pada umumnya adalah orang-orang
khusus yang memiliki kepentingan bisnis tertentu, seperti pemilik kafe,
restoran, atau bahkan event organizer yang hendak mengadakan acara-acara tertentu
yang memerlukan sentuhan artistik pada konstruksi atap-atap bangunan
pertunjukannya.
“Karena pemesannya
dari kalangan dan waktu tertentu saja makanya penghasilannya tidak pasti juga,
kadang ada yang beli, kadang berhari-hari tidak ada pemesan ataupun pembeli”.
Lanjut pak Ade.
“Pemesanan dan
pembelian itu biasanya baru ramai di bulan puasa atau saat musim tahun baru,
pada waktu tersebut tempat-tempat wisata dan hotel-hotel sibuk mengadakan
berbagai kegiatan meriah bagi tamunya”, tutur pak Ade sembari melepas dudukuynya
dan mengipas-ngipaskannya ke sekitar wajah dan lehernya yang nampak kegerahan.
Bagi seorang Ade jangankan
merayakan selamatan ulang tahun, hari dan bulan kelahirannya sendiripun dia
tidak tahu. Yang diingatnya hanya tahun kelahiran, itupun bersandar pada
hitungan yang diingat orangtuanya tentang waktu kelahirannya, yang dikaitkan
dengan beberapa peristiwa besar yang terjadi disaat jabang bayi dilahirkan
tahun 1950.
Kini lelaki itu telah
dikaruniai lima orang anak, dari istri yang dinikahi pada saat usia Ade muda belum
genap duapuluh tahun. Menjadi kelajiman di kampung kelahirannya masa itu seorang
laki-laki dikawinkan ketika baru menginjak usia belasan tahun. Yang penting
bagi masyarakat kampungnya adalah seorang lelaki harus menikah pada saat dia
sudah bisa bekerja menghasilkan uang.
Empat anaknya
perempuan telah berkeluarga dan semua ikut suaminya, anak sulungnya bahkan saat
ini menetap di Majalengka, jauh dari dirinya. Tinggal anak bungsunya yang saat
ini masih tinggal bersamanya, anak lelaki yang masih duduk di bangku kelas dua,
SMK swasta jurusan mesin di Lembang. Jenjang sekolah yang lebih tinggi
ketimbang keempat kakak perempuannya yang hanya mengenyam pendidikan hingga SMP
saja.
Setiap hari pak Ade
membuka jongko alang-alangnya mulai jam delapan pagi, kadang harus lebih pagi
jika ada pesanan dalam jumlah banyak, hingga kemudian menjelang maghrib dirinya
menutup jongkonya. Rutinitas selama lebih dari duapuluh tahun ini dijalaninya
bersama salah satu menantu lelakinya.
Selama hitungan tahun
yang diingatnya lelaki ini telah beberapa kali pindah lokasi jongko dari satu
tepian jalan ke tepian jalan lainnya, baik itu yang berada di wilayah desa
Cikahuripan maupun di desa lain sekitaran Lembang.
“Nete semplek nincak
semplak[2]”
“Bapak juga awalnya
ragu saat memulai usaha jualan alang-alang”, ungkap pak Ade, tangannya sesekali
menyeka basah keringat di pelipisnya yang berkilau ditimpa terik mentari siang.
Lembang masih dianggap
berhawa dingin oleh warga pendatang, namun tetap saja membuat pak Ade yang
telah menghabiskan sepanjang hayat di kampung halamannya bercucuran keringat di
bawah teriknya kemarau ini. Tegasnya, “Hawa Lembang sekarangmah udah jauh lebih
panas dibanding jaman bapak muda dulu”.
“Niti
semplek nincak semplak”. Demikian
tiba-tiba ucapan yang terlontar dari mulut pak Ade, matanya menatap kosong ke
seberang jalan seperti larut dalam kenangan masa lalu perjalanan hidupnya. Masa
dimana dirinya jatuh bangun merintis berbagai pekerjaan dan mencari nafkah untuk
menghidup istri dan kelima anaknya masa itu.
“Awalnya ragu, namun
mau gimana lagi, ya akhirnya digeluti saja usaha jualan alang-alang ini, karena
saat itu tiap pekerjaan yang bapak geluti selalu gagal dan bangkrut”. Kembali
pak Ade mengulangi penekanan katanya tentang keraguan usahanya.
Setelah lahan-lahan
persawahan semakin berkurang dan menyusut di Lembang, lelaki ini terpaksa
menjual itik-itiknya dan beralih profesi menjadi penggarap lahan persawahan
dengan memanfaatkan tenaga kerbau. Tidak cukup lama pekerjaan ini digelutinya
karena kerbau yang membantunya mencari nafkah kemudian uzur dan mati.
Kematian kerbau persis
diikuti masa lenyapnya ribuan petak sawah yang berganti bangunan-bangunan beton
megah akhir tahun tujuh puluhan. Kematian kerbau tak ubahnya sebagai gambaran
tercabutnya identitas asli akar kehidupan penduduk desa yang pada umumnya petani
dan penggarap lahan.
Pribumi dipaksa
beralih profesi menjadi kuli-kuli bangunan diantara dinding-dinding beton dan
padang-padang wisata yang marak menjamur. Memaksa mereka meninggalkan lahan
garapan dan persentuhannya dengan tanah yang berpuluh-puluh tahun telah
menghidupi, dari generasi ke generasi.
“Memang masuk akal
bekerja menjadi kuli bangunan waktu itumah, duitnya bisa dibilang gede buat
orang kampung sini”, demikian ujar pak Ade. Namun di sisi lain akar kehidupan
utamanya sebagai seorang penduduk desa yang bekerja bersandar pada kebaikan
musim dan lahan garapan tercabut sudah, ketika ribuan petak sawah dan
perkebunan beralih fungsi menjadi vila-vila mewah, restoran, dan hotel-hotel
berbintang di hamparan lembah Lembang yang sejuk masa itu.
Mahalnya bahan baku
Puluhan tahun
menggeluti usaha itu telah membuat kulit jemari dan tangannya lebih tebal dan
kebal terhadap sayatan tajam tepian alang-alang kering. Kini hanya menyisakan
banyak bekas goresan tipis menggumpal, yang sepintas nampak seperti penyakit
kapalan berwarna gelap diantara jemari dan telapak tangannya.
Alang-alang kering
bukan barang yang gampang didapat di Lembang, tak mungkin tanah lembang yang
subur dibiarkan ditumbuhi alang-alang yang dianggap tak bernilai dan menggangu
kesuburan tanah. Pak Ade harus pergi ke Subang untuk mendapatkan alang-alang
yang berlimpah sesuai dengan ukuran dan minat pemesan.
Cukup mahal harga
alang-alang yang didapat pak Ade dari Subang, satu mobil pickup terbuka yang
dijejali penuh alang-alang hingga mencapai ketinggian setengah badan melewati tinggi
atap mobil harus dibayar dengan harga tiga ratus ribu rupiah, ditambah biaya
sewa mobil dan bensinnya. Sehingga jika diakumulasikan untuk setiap
pembelanjaan bahan ke Subang tak kurang dari tujuh ratus ribu harus dirogoh pak
Ade dari kantongnya.
“Satu pickup penuh
alang-alang itu biasanya bisa untuk sekitar seribu lembar anyaman atap siap jual”.
Demikian ujar pak Ade.
“Memang jika dihitung seperti itu jadinya seperti ada
keuntungan sekitar dua juta tiga ratus ribu rupiah, namun pada kenyataannya
tidak seperti itu, karena biaya makan belum dihitung, kemudian bilah-bilah
bambu sebagai tulang anyaman juga belum dihitung, belum lagi tali pengikat,
serta kebutuhan-kebutuhan lainnya selama pengerjaan”. Lanjut pak Ade
memperjelas penghitungan sederhananya.
“yaa… pada akhirnyamah
kadangkala plus-plos antara modal dan keuntungan yang didapatnya”, lanjutnya
diiringi senyum getir di bibirnya. Wajahnya nampak kerap menunduk tak berani
beradu tatap langsung saat pertanyaan-pertaanya dilontarkan padanya di siang
terik itu.
Tak heran itu juga
yang menjadikan harga per lembar anyaman alang-alang terkesan cukup mahal jika
dibandingkan dengan genteng tanah liat yang tentu saja memiliki daya tahan dan
kualitas lebih baik dari sekedar alang-alang.
“Hanya saja bapakmah
lebih bebas hati dengan pekerjaan ini karena tidak merasa disuruh-suruh dan
bergantung ke orang lain, tidak seperti jika bapak ngaladen[3] ke orang lain yang harus nurut dan selalu
tidak bebas”. Demikian tuturnya.
“Kebutuhan dapur tidak
bisa ditunda-tunda”, demikian ujar pak Ade. Itu juga yang menggerakkannya
bertahan dalam usahanya ini, meskipun dengan penghasilan yang tidak menentu dan
harus bergantung pada ketersediaan bahan baku yang tidak mudah didapatkan di
kampung sekitar.
Pada akhirnya keadaan berbalut
ketidakberdayaan pak Ade untuk mencari nafkah di bidang lain inilah yang
membuatnya bertahan menggeluti usaha ini hingga lebih dari duapuluh tahun. Tekad
untuk bekerja sendiri tanpa bergantung pada orang lain sebagai majikan telah
mendorongnya merintis usaha jualan atap alang-alang.
Bertahan dalam
sandaran harapan
Duduk beralas tanah diantara
hamparan cacahan alang-alang sisa pemangkasan yang terbuang nampak membuatnya
lebih leluasa. Kakinya kananya diselonjorkan lurus kedepan, sementara kaki
kirinya ditekuk merapat ke arah dadanya. Diambilnya sebatang alang-alang
kering, kemudian dimasukkannya ke sela-sela bibirnya, digigit dan
digerak-gerakan oleh mulutnya ibarat sebatang rokok di mulutnya.
Pakaian kerjanya berupa
sepasang celana katun gelap dan kemeja krem lengan pendek yang keduanya telah
nampak uzur dan usang. Sejenak terdiam kemudian menghela nafas, tatapannya
menyapu jauh ke arah Tangkuban Parahu yang masih nampak menyilaukan oleh terik
matahari. Lelaki ini nampak makin larut mengenang bagian-bagian masa lalu
hidupnya yang telah dikisahkan.
“Sepanjang ingatanmah rasanya
tidak ada saat yang paling berkesan selama menjalani rupa-rupa pekerjaan itu”,
demikian lanjut pak Ade menjawab pertanyaanku setelah sejenak terdiam menghela
nafas dalam.
“Setiap usaha bapak sebelum tahun sembilan
puluhan itu selalu jatuh bangun, bahkan pada awal mencoba jualan alang-alangpun
kerap ragu dan sering ditinggalkan untuk mencoba kerja sambilan lainnya, entah
menjadi kuli bangunan ataupun menjadi kenek angkutan pedesaan di Lembang”, demikian
tuturnya.
“Tapi jika
diingat-ingatmah jaman yang paling tidak takut kurang makan dan tidak takut
kurang pekerjaan adalah sebelum tahun sembilan puluhan, pada jamannya Soeharto”.
Demikian pendapatnya gamblang.
Kekecewaan terpancar
dari wajahnya saat membandingkan satu demi satu pemimpin negeri yang pernah
diingatnya, yang membuatnya kemudian memilih berdasarkan naluri sederhana
masyarakat kecil yang awam persoalan politik dan kekuasaan negara.
“Pada masa itumah
meskipun pekerjaan bapak tidak menentu, tapi harga-hargateh masih murah dan bisa
dibeli. Sedangkan hari ini sudahmah harga-harga mahal tidak terbeli, juga
mencari kerjateh sangat sulit bagi orang-orang seperti bapakmah. Ingin rasanya
kembali ke jaman harga terjangkau seperti masa pak Harto dulu”.
Jaman telah berganti, dalam
pemahaman lelaki ini jaman bukan menjadi lebih baik, namun telah bergerak pada
kondisi yang menghimpitnya diantara sulitnya kesempatan dan peluang usaha
baginya. Namun demikian satu keyakinan tetap tumbuh dalam batinnya, bahwa
seburuk apapun jaman itu berimbas pada dirinya tetap dia harus bekerja mencari
nafkah demi menghidupi anak istrinya.
Satu-satunya penawar
tatkala rasa putus asa dan kebuntuan telah benar-benar menghimpitnya adalah harapan
akan datangnya pembeli yang memborong atap alang-alangnya, harapan yang
bersandar pada pengamatan sederhananya tentang masih maraknya pembangunan dan
kegiatan-kegiatan wisata di daerah Lembang yang memerlukan hiasan atap
alang-alang.
Akan tetap ada peminat
Dalam hitungan detik
kami sempat saling terdiam, kemudian pak Ade balik bertanya tentang asal usulku
dan kepentinganku mewawancarainya. Dengan sederhana kujelaskan kepentingan
wawancaraku terhadapnya, meskipun pada kenyataannya melenceng dari rencana awal
yang ditugaskan.
Tak panjang lebar
pertanyaan pak Ade, karena aku tahu jika dirinya hanya ingin sejenak memalingkan
tema, untuk mengendapkan perasaannya yang mulai larut dalam kegetiran masa lalu
hidupnya.
Jalan desa di depan
kami mulai ramai oleh lalu-lalang kendaraan, terik mataharipun tidak segarang seperti
saat kudatangi jongko itu puluhan menit sebelumnya.
Menunggu beberapa
tarikan nafas dalam penantian hingga akhirnya jembatan penghubung cerita kembali
muncul, saat raut wajah tirusnya mengirimkan pesan antusiasme untuk melanjutkan
kisah.
Dalam pemahaman bisnis
sederhananya pak Ade memandang jika setiap kota wisata yang didalamnya dipenuhi
juga hotel-hotel dan bangunan-bangunan khas tempat wisata pasti akan selalu melakukan
pembaruan dan peremajaan fasilitas dalam rentang waktu tertentu, termasuk
berbagai akseseorinya atau hiasan yang digunakannya.
Cukup banyak tempat,
bangunan wisata serta hotel di Lembang yang menjadi pemesan berkala atap
alang-alang pak Ade, baik sebagai hiasan pelengkap fasilitas maupun untuk kepentingan
acara-acara temporer.
Dari pola berkala
inilah kemudian dirinya mengasumsikan jika peminatnya masih akan tetap ada,
meskipun itu tidak tiap hari, namun berkala dalam rentang bulan ataupun tahun
tertentu.
Pola yang tidak
teratur dalam rentang harian ini berdampak pada penghasilan yang didapat pak
Adepun tidak bisa dihitung harian. Ada kalanya penghasilan yang didapatnya
cukup besar, ini terjadi di bulan-bulan musim liburan, akhir tahun maupun
menjelang hari-hari raya keagamaan.
Namun tak jarang juga
saat dimana tak sepeserpun uang yang didapat selama berminggu-minggu dari
jualannya. Namun itulah yang namanya usaha berjualan, apalagi yang dijual
bukanlah kebutuhan harian. Demikian ungkap pak Ade.
Alang-alang tetaplah alang-alang
Alang-alang tetaplah
alang-alang, diantara fungsinya sebagai atap dan penghias bangunan seni,
keberadaannya sudah jauh ditinggalkan masyarakat sebagai media utama atap
rumah.
Masyarakat akan lebih memilih atap genteng ataupun asbes yang
nyata-nyata lebih kuat dan tahan lama, ketimbang menggunakan alang-alang bagi
bangunan rumahnya.
Alang-alang tetaplah
alang-alang, tumbuh dengan cepat namun cepat pula rapuh tergerus musim. Kini fungsinya
lebih banyak dilirik untuk hiasan penambah nilai estetika sebuah fasilitatas
bisnis, ketimbang fungsi peneduh utama rumah.
Hotel, Restoran, Vila
dan Kafe-kafe yang menjamur di Lembang mulai tahun sembilan puluhan banyak menggunakan
alang-alang sebagai pemanis fasilitasnya. Namun tetap saja tak ada pemodal yang
mau membudidayakannya.
Dalam hitungan awam satu
sisir anyaman alang-alang untuk atap dengan harga tiga ribu rupiah masih lebih mahal
jika dibandingkan genteng tanah liat maupun asbes dari sisi kualitas dan masa
pakai. Lempeng genteng tanah liat, jauh bisa bertahan hingga puluhan tahun digunakan.
Alang-alang tetaplah
alang-alang, di tangan pak Ade seorang
pribumi yang tak pernah hidup jauh dari tanah kelahirannya, menganyamnya
berarti persentuhannya dengan kehidupan alaminya di tanah yang telah membesarkannya.
Persentuhannya dengan sawah dan lahan garapan sudah tak
mungkin dirasakannya lagi. Menggembalakan itik, mencangkul
dan bertani, hingga menjadi pembajak sawah dengan tenaga kerbau sudah tak mungkin bisa dilakukannya di kampung
betonnya hari ini.
Peradaban tulang baja dan dinding beton telah merangsek hingga
pelosok-pelosok perkampungan yang jauh dari hingar-bingar kota. Menjadikan pemuda kampung hari ini hanya
sebagai buruh di tanah tuan tak dikenal. Menjadikan kampung sebagai kampung
beton yang hingar-bingar.
Helai-helai halus
namun tajam alang-alang kering telah puluhan tahun mengiris-iris tangan dan
jemarinya, hingga nampak menghitam meninggalkan gurat kapalan.
Namun tajamnya
alang-alang tidak setajam sayatan getir perjalanan hidupnya selama puluhan
tahun. Sayatannya bukan hanya membekas dalam tirus wajah dan kurus tubuhnya,
namun telah meninggalkan luka jauh kedalam batinnya yang mulai beranjak senja.
Seperti senja yang
mulai rebah di balik punggung Burangrang[4], diantara hembusan kering angin sore
mengibaskan debu-debu jalanan kampung Cikahuripan.
* * *
Lembang, 11 Agustus 2012
[1] Sejenis topi pekerja atau
topi rimba dari kain yang biasa digunakan oleh pekerj-pekerja lapangan, yang
menutupi sekeliling lingkar kepala
[2] istilah dalam bahasa
sunda yang bermakna: kegagalan demi kegagalan dalam setiap upaya yang ditempuh.
[3] Bisa dimaknai sebagai
bekerja menghamba/bergantung pada pihak lain sebagai majikan
[4] Gunung yang berada di
sisi barat Lembang, menjadi pembatas Lembang dengan Purwakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar