11 Agustus 2012

Alang Alang Pak Ade





Jongko kering tepi jalan 

Tidak sulit menemukan tempat ini, sebuah konstruksi bangunan bambu semi permanen yang nampak mencolok dari jarak puluhan meter karena isinya yang dipadati tumpukan alang-alang. Selain hanya satu-satunya di tepi jalan ini, konstruksinya yang semi permanen nampak kontras diantara bangunan-bangunan permanen lain di sekitarnya yang berderet sepanjang tepian jalan Cikahuripan Lembang.


Sepintas bangunan itu nampak jauh dari kesan sebuah jongko dagangan, bahkan lebih mirip seperti saung darurat tempat menumpuk alang-alang di tepian jalan, limbah tak berguna sisa pembabatan lahan tidur yang siap dibuang atau dibakar. Namun jika lebih teliti mengamati ternyata bangunan semi permanen tersebut adalah sebuah jongko tempat berjualan, sekaligus bengkel kerja tempat penganyaman atap dari bahan alang-alang yang telah dikeringkan secara alami.

Jika dari arah timur jongko semi permanen ini berada di emperan kiri jalan desa Cikahuripan, berdiri tidak lebih dari lima puluh langkah setelah melewati ujung tanjakan lembah curam jalan kolonel Masturi, yang memisahkan Lembang kota dengan Lembang arah Parongpong.

Luasnya paling tidak selebar ukuran dua meja pingpong, terbuat dari konstruksi utama batang-batang bambu. Atapnya ditutup bagor plastik berwarna biru, demikian juga dengan kedua dindidng sisinya, sementara bagian belakangnya ditutup bilik bambu setengah badan.

Bagor plastik yang telah usang pada bagian atapnya rasanya tidak bisa lagi dibilang layak sebagai penahan terik di siang yang menyengat itu. Bahkan kondisinya yang usang dan ngatung itu bisa jadi malah sama sekali tidak akan berguna sebagai pelindung jika hujan mengguyur.

Bagian depan jongko dibiarkan terbuka tanpa sekat, sehingga nampak bagian dalam ruangan jongko yang dipenuhi tumpukan anyaman alang-alang yang tersususun rapih dengan bentuk lembaran-lembaran menyisir berwarna kuning kecoklatan. Hanya menyisakan sedikit celah ruang untuk aktifitas pemiliknya menganyam bahan. Sedangkan ikatan-ikatan alang-alang yang belum dianyam nampak bertumpuk di sisi kiri-kanan luar jongko, dengan ukuran masing-masing ikatan tak lebih dari sepelukan orang dewasa.

Hanya Ade, tidak lebih

Sepeda motor yang kuparkirkan di muka bangunan sisi kanan, hanya beberapa langkah dari tumpukan ikatan ilalang kering. Tak nampak pembeli siang itu, hanya aktifitas menganyam sisiran atap yang nampak kulihat saat tiba di hadapannya. Seorang lelaki paruh baya dengan dudukuy[1] menutupi kepalanya dibawah naungan bagor yang masih kurang perkasa menahan terik mentari siang itu.

Sejenak memperkenalkan diri dalam bahasa sunda cukup memberi kesan bahwa lelaki ini bertutur halus, cukup halus untuk ukuran seorang pekerja sebuah jongko usaha alang-alang, hingga akhirnya diketahui bahwa dirinya pekerja sekaligus pemilik usaha itu.

Lelaki itu bernama Ade, tidak ada nama panjang yang merangkai dibelakangnya, hanya Ade. penduduk asli Cikahuripan Lembang yang lahir lima tahun setelah negeri ini merdeka. Sudah lebih dari duapuluh tahun dirinya menekuni usaha berjualan atap alang-alang, semenjak pertama kali dirintisnya pada tahun 1990.

Dulu awalnya bapak hanyalah seorang gembala itik, sekitar tahun 1965, saat sedang angker-angkernya gerombolan PKI kala itu. Demikian tuturnya memulai kisah diantara kegesitan jari-jemari menari menganyam jumput demi jumput alang-alang, hingga tersusun rapat pada sebilah ajir bambu setebal pensil kayu dengan panjang setengah depa orang dewasa.

Tidak ada pembeli pembeli ataupun pelanggan yang datang siang itu, jalananpun terasa lengang. Sesekali angin menerbangkan debu-debu kering di tepian jalan dibawah teriknya kemarau siang itu. Mungkin orang-orangpun malas keluar rumah ditengah kemarau menyengat seperti siang itu.

Jari-jarinya yang menghitam keriput nampak cekatan menganyam alang-alang, perpaduan serasi warna gelap kulit menyusup diantara helai demi helai alang-alang kering yang menguning kecoklatan. Sementara aliran-aliran urat darah di tangannya seperti garis-garis kawat menonjol yang memaksa hendak keluar dari lapisan kulit keriput sepasang tangan kurus kering.

Tak lebih dari sepuluh menit sebuah anyaman selesai dikerjakan oleh sepasang tangannya. Lembar anyaman yang satukan dengan ikatan tali rapia sebagai penguat sela-sela sisirannya kemudian dirapihkan, sederhana juga proses merapihkannya, hanya dengan memangkas ujung-ujungnya menggunakan golok hingga rata. 

Lembaran ini kemudian ditumpuk mengikuti susunan lembar-lembar anyaman lain yang telah jadi di sisi kanan dalam jongkonya.
Satu lembar anyaman alang-alang ini kemudian dijual dengan harga tiga ribu rupiah. Harga yang cukup mahal untuk sebuah atap bangunan jika dibandingkan dengan atap genteng tanah liat baik dari sisi usia pakai maupun kualitas.

“Memang lebih mahal harga atap alang-alang jika dibandingkan dengan atap genteng ataupun asbes”. Ujar pak Ade. Ternyata pemesan atap alang-alang pada umumnya adalah orang-orang khusus yang memiliki kepentingan bisnis tertentu, seperti pemilik kafe, restoran, atau bahkan event organizer yang hendak mengadakan acara-acara tertentu yang memerlukan sentuhan artistik pada konstruksi atap-atap bangunan pertunjukannya.

“Karena pemesannya dari kalangan dan waktu tertentu saja makanya penghasilannya tidak pasti juga, kadang ada yang beli, kadang berhari-hari tidak ada pemesan ataupun pembeli”. Lanjut pak Ade.

“Pemesanan dan pembelian itu biasanya baru ramai di bulan puasa atau saat musim tahun baru, pada waktu tersebut tempat-tempat wisata dan hotel-hotel sibuk mengadakan berbagai kegiatan meriah bagi tamunya”, tutur pak Ade sembari melepas dudukuynya dan mengipas-ngipaskannya ke sekitar wajah dan lehernya yang nampak kegerahan.

Bagi seorang Ade jangankan merayakan selamatan ulang tahun, hari dan bulan kelahirannya sendiripun dia tidak tahu. Yang diingatnya hanya tahun kelahiran, itupun bersandar pada hitungan yang diingat orangtuanya tentang waktu kelahirannya, yang dikaitkan dengan beberapa peristiwa besar yang terjadi disaat jabang bayi dilahirkan tahun 1950.

Kini lelaki itu telah dikaruniai lima orang anak, dari istri yang dinikahi pada saat usia Ade muda belum genap duapuluh tahun. Menjadi kelajiman di kampung kelahirannya masa itu seorang laki-laki dikawinkan ketika baru menginjak usia belasan tahun. Yang penting bagi masyarakat kampungnya adalah seorang lelaki harus menikah pada saat dia sudah bisa bekerja menghasilkan uang.

Empat anaknya perempuan telah berkeluarga dan semua ikut suaminya, anak sulungnya bahkan saat ini menetap di Majalengka, jauh dari dirinya. Tinggal anak bungsunya yang saat ini masih tinggal bersamanya, anak lelaki yang masih duduk di bangku kelas dua, SMK swasta jurusan mesin di Lembang. Jenjang sekolah yang lebih tinggi ketimbang keempat kakak perempuannya yang hanya mengenyam pendidikan hingga SMP saja.

Setiap hari pak Ade membuka jongko alang-alangnya mulai jam delapan pagi, kadang harus lebih pagi jika ada pesanan dalam jumlah banyak, hingga kemudian menjelang maghrib dirinya menutup jongkonya. Rutinitas selama lebih dari duapuluh tahun ini dijalaninya bersama salah satu menantu lelakinya.

Selama hitungan tahun yang diingatnya lelaki ini telah beberapa kali pindah lokasi jongko dari satu tepian jalan ke tepian jalan lainnya, baik itu yang berada di wilayah desa Cikahuripan maupun di desa lain sekitaran Lembang.

“Nete semplek nincak semplak[2]

“Bapak juga awalnya ragu saat memulai usaha jualan alang-alang”, ungkap pak Ade, tangannya sesekali menyeka basah keringat di pelipisnya yang berkilau ditimpa terik mentari siang.

Lembang masih dianggap berhawa dingin oleh warga pendatang, namun tetap saja membuat pak Ade yang telah menghabiskan sepanjang hayat di kampung halamannya bercucuran keringat di bawah teriknya kemarau ini. Tegasnya, “Hawa Lembang sekarangmah udah jauh lebih panas dibanding jaman bapak muda dulu”.

Niti semplek nincak semplak”. Demikian tiba-tiba ucapan yang terlontar dari mulut pak Ade, matanya menatap kosong ke seberang jalan seperti larut dalam kenangan masa lalu perjalanan hidupnya. Masa dimana dirinya jatuh bangun merintis berbagai pekerjaan dan mencari nafkah untuk menghidup istri dan kelima anaknya masa itu.

“Awalnya ragu, namun mau gimana lagi, ya akhirnya digeluti saja usaha jualan alang-alang ini, karena saat itu tiap pekerjaan yang bapak geluti selalu gagal dan bangkrut”. Kembali pak Ade mengulangi penekanan katanya tentang keraguan usahanya.

Setelah lahan-lahan persawahan semakin berkurang dan menyusut di Lembang, lelaki ini terpaksa menjual itik-itiknya dan beralih profesi menjadi penggarap lahan persawahan dengan memanfaatkan tenaga kerbau. Tidak cukup lama pekerjaan ini digelutinya karena kerbau yang membantunya mencari nafkah kemudian uzur dan mati.

Kematian kerbau persis diikuti masa lenyapnya ribuan petak sawah yang berganti bangunan-bangunan beton megah akhir tahun tujuh puluhan. Kematian kerbau tak ubahnya sebagai gambaran tercabutnya identitas asli akar kehidupan penduduk desa yang pada umumnya petani dan penggarap lahan.

Pribumi dipaksa beralih profesi menjadi kuli-kuli bangunan diantara dinding-dinding beton dan padang-padang wisata yang marak menjamur. Memaksa mereka meninggalkan lahan garapan dan persentuhannya dengan tanah yang berpuluh-puluh tahun telah menghidupi, dari generasi ke generasi.

“Memang masuk akal bekerja menjadi kuli bangunan waktu itumah, duitnya bisa dibilang gede buat orang kampung sini”, demikian ujar pak Ade. Namun di sisi lain akar kehidupan utamanya sebagai seorang penduduk desa yang bekerja bersandar pada kebaikan musim dan lahan garapan tercabut sudah, ketika ribuan petak sawah dan perkebunan beralih fungsi menjadi vila-vila mewah, restoran, dan hotel-hotel berbintang di hamparan lembah Lembang yang sejuk masa itu.

Mahalnya bahan baku

Puluhan tahun menggeluti usaha itu telah membuat kulit jemari dan tangannya lebih tebal dan kebal terhadap sayatan tajam tepian alang-alang kering. Kini hanya menyisakan banyak bekas goresan tipis menggumpal, yang sepintas nampak seperti penyakit kapalan berwarna gelap diantara jemari dan telapak tangannya.

Alang-alang kering bukan barang yang gampang didapat di Lembang, tak mungkin tanah lembang yang subur dibiarkan ditumbuhi alang-alang yang dianggap tak bernilai dan menggangu kesuburan tanah. Pak Ade harus pergi ke Subang untuk mendapatkan alang-alang yang berlimpah sesuai dengan ukuran dan minat pemesan.

Cukup mahal harga alang-alang yang didapat pak Ade dari Subang, satu mobil pickup terbuka yang dijejali penuh alang-alang hingga mencapai ketinggian setengah badan melewati tinggi atap mobil harus dibayar dengan harga tiga ratus ribu rupiah, ditambah biaya sewa mobil dan bensinnya. Sehingga jika diakumulasikan untuk setiap pembelanjaan bahan ke Subang tak kurang dari tujuh ratus ribu harus dirogoh pak Ade dari kantongnya.

“Satu pickup penuh alang-alang itu biasanya bisa untuk sekitar seribu lembar anyaman atap siap jual”. Demikian ujar pak Ade. 

“Memang jika dihitung seperti itu jadinya seperti ada keuntungan sekitar dua juta tiga ratus ribu rupiah, namun pada kenyataannya tidak seperti itu, karena biaya makan belum dihitung, kemudian bilah-bilah bambu sebagai tulang anyaman juga belum dihitung, belum lagi tali pengikat, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya selama pengerjaan”. Lanjut pak Ade memperjelas penghitungan sederhananya.

“yaa… pada akhirnyamah kadangkala plus-plos antara modal dan keuntungan yang didapatnya”, lanjutnya diiringi senyum getir di bibirnya. Wajahnya nampak kerap menunduk tak berani beradu tatap langsung saat pertanyaan-pertaanya dilontarkan padanya di siang terik itu.

Tak heran itu juga yang menjadikan harga per lembar anyaman alang-alang terkesan cukup mahal jika dibandingkan dengan genteng tanah liat yang tentu saja memiliki daya tahan dan kualitas lebih baik dari sekedar alang-alang.

“Hanya saja bapakmah lebih bebas hati dengan pekerjaan ini karena tidak merasa disuruh-suruh dan bergantung ke orang lain, tidak seperti jika bapak ngaladen[3] ke orang lain yang harus nurut dan selalu tidak bebas”. Demikian tuturnya.

“Kebutuhan dapur tidak bisa ditunda-tunda”, demikian ujar pak Ade. Itu juga yang menggerakkannya bertahan dalam usahanya ini, meskipun dengan penghasilan yang tidak menentu dan harus bergantung pada ketersediaan bahan baku yang tidak mudah didapatkan di kampung sekitar.

Pada akhirnya keadaan berbalut ketidakberdayaan pak Ade untuk mencari nafkah di bidang lain inilah yang membuatnya bertahan menggeluti usaha ini hingga lebih dari duapuluh tahun. Tekad untuk bekerja sendiri tanpa bergantung pada orang lain sebagai majikan telah mendorongnya merintis usaha jualan atap alang-alang.
Bertahan dalam sandaran harapan

Duduk beralas tanah diantara hamparan cacahan alang-alang sisa pemangkasan yang terbuang nampak membuatnya lebih leluasa. Kakinya kananya diselonjorkan lurus kedepan, sementara kaki kirinya ditekuk merapat ke arah dadanya. Diambilnya sebatang alang-alang kering, kemudian dimasukkannya ke sela-sela bibirnya, digigit dan digerak-gerakan oleh mulutnya ibarat sebatang rokok di mulutnya.

Pakaian kerjanya berupa sepasang celana katun gelap dan kemeja krem lengan pendek yang keduanya telah nampak uzur dan usang. Sejenak terdiam kemudian menghela nafas, tatapannya menyapu jauh ke arah Tangkuban Parahu yang masih nampak menyilaukan oleh terik matahari. Lelaki ini nampak makin larut mengenang bagian-bagian masa lalu hidupnya yang telah dikisahkan.

“Sepanjang ingatanmah rasanya tidak ada saat yang paling berkesan selama menjalani rupa-rupa pekerjaan itu”, demikian lanjut pak Ade menjawab pertanyaanku setelah sejenak terdiam menghela nafas dalam.

“Setiap usaha bapak sebelum tahun sembilan puluhan itu selalu jatuh bangun, bahkan pada awal mencoba jualan alang-alangpun kerap ragu dan sering ditinggalkan untuk mencoba kerja sambilan lainnya, entah menjadi kuli bangunan ataupun menjadi kenek angkutan pedesaan di Lembang”, demikian tuturnya.

“Tapi jika diingat-ingatmah jaman yang paling tidak takut kurang makan dan tidak takut kurang pekerjaan adalah sebelum tahun sembilan puluhan, pada jamannya Soeharto”. Demikian pendapatnya gamblang.

Kekecewaan terpancar dari wajahnya saat membandingkan satu demi satu pemimpin negeri yang pernah diingatnya, yang membuatnya kemudian memilih berdasarkan naluri sederhana masyarakat kecil yang awam persoalan politik dan kekuasaan negara.

“Pada masa itumah meskipun pekerjaan bapak tidak menentu, tapi harga-hargateh masih murah dan bisa dibeli. Sedangkan hari ini sudahmah harga-harga mahal tidak terbeli, juga mencari kerjateh sangat sulit bagi orang-orang seperti bapakmah. Ingin rasanya kembali ke jaman harga terjangkau seperti masa pak Harto dulu”.

Jaman telah berganti, dalam pemahaman lelaki ini jaman bukan menjadi lebih baik, namun telah bergerak pada kondisi yang menghimpitnya diantara sulitnya kesempatan dan peluang usaha baginya. Namun demikian satu keyakinan tetap tumbuh dalam batinnya, bahwa seburuk apapun jaman itu berimbas pada dirinya tetap dia harus bekerja mencari nafkah demi menghidupi anak istrinya.

Satu-satunya penawar tatkala rasa putus asa dan kebuntuan telah benar-benar menghimpitnya adalah harapan akan datangnya pembeli yang memborong atap alang-alangnya, harapan yang bersandar pada pengamatan sederhananya tentang masih maraknya pembangunan dan kegiatan-kegiatan wisata di daerah Lembang yang memerlukan hiasan atap alang-alang.

Akan tetap ada peminat

Dalam hitungan detik kami sempat saling terdiam, kemudian pak Ade balik bertanya tentang asal usulku dan kepentinganku mewawancarainya. Dengan sederhana kujelaskan kepentingan wawancaraku terhadapnya, meskipun pada kenyataannya melenceng dari rencana awal yang ditugaskan.

Tak panjang lebar pertanyaan pak Ade, karena aku tahu jika dirinya hanya ingin sejenak memalingkan tema, untuk mengendapkan perasaannya yang mulai larut dalam kegetiran masa lalu hidupnya.
Jalan desa di depan kami mulai ramai oleh lalu-lalang kendaraan, terik mataharipun tidak segarang seperti saat kudatangi jongko itu puluhan menit sebelumnya.

Menunggu beberapa tarikan nafas dalam penantian hingga akhirnya jembatan penghubung cerita kembali muncul, saat raut wajah tirusnya mengirimkan pesan antusiasme untuk melanjutkan kisah.

Dalam pemahaman bisnis sederhananya pak Ade memandang jika setiap kota wisata yang didalamnya dipenuhi juga hotel-hotel dan bangunan-bangunan khas tempat wisata pasti akan selalu melakukan pembaruan dan peremajaan fasilitas dalam rentang waktu tertentu, termasuk berbagai akseseorinya atau hiasan yang digunakannya.

Cukup banyak tempat, bangunan wisata serta hotel di Lembang yang menjadi pemesan berkala atap alang-alang pak Ade, baik sebagai hiasan pelengkap fasilitas maupun untuk kepentingan acara-acara temporer.

Dari pola berkala inilah kemudian dirinya mengasumsikan jika peminatnya masih akan tetap ada, meskipun itu tidak tiap hari, namun berkala dalam rentang bulan ataupun tahun tertentu.

Pola yang tidak teratur dalam rentang harian ini berdampak pada penghasilan yang didapat pak Adepun tidak bisa dihitung harian. Ada kalanya penghasilan yang didapatnya cukup besar, ini terjadi di bulan-bulan musim liburan, akhir tahun maupun menjelang hari-hari raya keagamaan.

Namun tak jarang juga saat dimana tak sepeserpun uang yang didapat selama berminggu-minggu dari jualannya. Namun itulah yang namanya usaha berjualan, apalagi yang dijual bukanlah kebutuhan harian. Demikian ungkap pak Ade.


Alang-alang tetaplah alang-alang

Alang-alang tetaplah alang-alang, diantara fungsinya sebagai atap dan penghias bangunan seni, keberadaannya sudah jauh ditinggalkan masyarakat sebagai media utama atap rumah. 

Masyarakat akan lebih memilih atap genteng ataupun asbes yang nyata-nyata lebih kuat dan tahan lama, ketimbang menggunakan alang-alang bagi bangunan rumahnya.

Alang-alang tetaplah alang-alang, tumbuh dengan cepat namun cepat pula rapuh tergerus musim. Kini fungsinya lebih banyak dilirik untuk hiasan penambah nilai estetika sebuah fasilitatas bisnis, ketimbang fungsi peneduh utama rumah.

Hotel, Restoran, Vila dan Kafe-kafe yang menjamur di Lembang mulai tahun sembilan puluhan banyak menggunakan alang-alang sebagai pemanis fasilitasnya. Namun tetap saja tak ada pemodal yang mau membudidayakannya.

Dalam hitungan awam satu sisir anyaman alang-alang untuk atap dengan harga tiga ribu rupiah masih lebih mahal jika dibandingkan genteng tanah liat maupun asbes dari sisi kualitas dan masa pakai. Lempeng genteng tanah liat, jauh bisa bertahan hingga puluhan tahun digunakan.

Alang-alang tetaplah alang-alang, di tangan pak Ade seorang pribumi yang tak pernah hidup jauh dari tanah kelahirannya, menganyamnya berarti persentuhannya dengan kehidupan alaminya di tanah yang telah membesarkannya.

Persentuhannya dengan sawah dan lahan garapan sudah tak mungkin dirasakannya lagi. Menggembalakan itik, mencangkul dan bertani, hingga menjadi pembajak sawah dengan tenaga kerbau sudah tak mungkin bisa dilakukannya di kampung betonnya hari ini.

Peradaban tulang baja dan dinding beton telah merangsek hingga pelosok-pelosok perkampungan yang jauh dari hingar-bingar kota. Menjadikan pemuda kampung hari ini hanya sebagai buruh di tanah tuan tak dikenal. Menjadikan kampung sebagai kampung beton yang hingar-bingar.

Helai-helai halus namun tajam alang-alang kering telah puluhan tahun mengiris-iris tangan dan jemarinya, hingga nampak menghitam meninggalkan gurat kapalan.

Namun tajamnya alang-alang tidak setajam sayatan getir perjalanan hidupnya selama puluhan tahun. Sayatannya bukan hanya membekas dalam tirus wajah dan kurus tubuhnya, namun telah meninggalkan luka jauh kedalam batinnya yang mulai beranjak senja.

Seperti senja yang mulai rebah di balik punggung Burangrang[4], diantara hembusan kering angin sore mengibaskan debu-debu jalanan kampung Cikahuripan.

* * * 

Lembang, 11 Agustus 2012



[1] Sejenis topi pekerja atau topi rimba dari kain yang biasa digunakan oleh pekerj-pekerja lapangan, yang menutupi sekeliling lingkar kepala
[2] istilah dalam bahasa sunda yang bermakna: kegagalan demi kegagalan dalam setiap upaya yang ditempuh.
[3] Bisa dimaknai sebagai bekerja menghamba/bergantung pada pihak lain sebagai majikan
[4] Gunung yang berada di sisi barat Lembang, menjadi pembatas Lembang dengan Purwakarta

Tidak ada komentar: