Ligarsari 13, Bandung 3 tahun lalu, dalam ruangan utama kantor yang lebih sering sepi, karena beberapa bagian dari komunitas formal ini sudah hengkang, entah karena alasan kehabisan energi maupun karena panggilan untuk ‘kembali’ ke tanah leluhur. Bahkan saat itu, sang (t)uhan (‘t’ kecil) yang sebelumnya menjadi koordinator program di TNGP pun tak lagi menampakkan dirinya di ruangan itu. Tapi... masih kulihat sisa-sisa ke(t)uhannannya disudut kebun waluh di halaman belakang kantor, menjelma dalam satu tegakan besar pohon pisang yang sudah menampakkan tunas-tunas kecil anaknya, dibawah naungan rindangnya daun-daun waluh yang menjalar ....
Itulah saat ketika seorang direktur yang tentu saja di kantor kami posisi(formal)nya lebih tinggi dari (t)uhan dan seorang staff paruh waktu, memutuskan mematisurikan beberapa kegiatan strategis yang dijalankan di TNGP, setelah semenjak 1993 dirintis dan dijalankan. Bahkan konon eksistensi organisasi ini tak luput dari awal inisiasi kegiatannya di TNGP.
Alasan krisis tenaga dan finansial yang semakin kentara melanda tahun itu akhirnya membuat kami(tentu saja minus (t)uhan) sepakat melakukan seleksi ulang program-program yang dijalankan di TNGP.
Tanpa (t)uhan, kami menentukan jalan sendiri, karena saat itu mungkin dia sudah di satu tempat mencari sang ‘T’.... yang sesungguhnya.
Namun yang kupikir penting(terutama buat SGP’ers hari ini) dari hasil keputusan rapat kecil tak ber(t)uhan waktu itu adalah satu program di TNGP yang rangking strategisnya ada di bawah program lainnya sepakat untuk tetap coba dipertahankan... Program Kampanye Penyadaran Lingkungan Bagi Pengunjung TNGP, inilah nama programnya.
Nama yang cukup panjang, sepanjang proses mewujudkan kegiatannya dari kitab Renstra Kantor Balai TNGP, juga cukup panjang untuk disablonkan di t-hirt maupun pin-pin kegiatan, bahkan di proposal. Nama yang tidak operasional diucapkan di lapangan saat kami berkampanye sepanjang jalur pendakian maupun air terjun cibeureum serta adakalanya di kandang badak diantara tenda-tenda pendaki dan sampah yang berserakan.
Namun inilah nama dari program yang kami sepakat coba tetap dipertahankan, hanya menurunkan intensitas kegiatan mingguannya. Program yang lahir dari satu keprihatinan mendalam yang dituangankan dalam diskusi di ruang-ruang seminar maupun diantara tuangan kopi panas dan asap rokok di sela obrolan warung kopi para pendaki dan pencinta TNGP.
Dan ketika keputusan itu ditetapkan, (t)uhan tidak menyertai kami, namun kupercaya dia tersenyum gembira dengan keputusan hari itu...
Keputusan yang cukup berat dengan konsekwensi energi dan waktu yang akan terkuras cukup besar dari lembaga kami dengan tetap menjalankan program ini. Sementara oranganisasi-organisasi lokal Cibodas-TNGP yang tahun-tahun sebelumnya memegang komondo kegiatan rutin mingguan saat itu mulai(bahkan sudah) berguguran. Krisis ternyata bukan cuma melanda kami, tapi juga mereka. Namun diantara krisis itulah saat program ini memulai babak baru tak ber(t)uhan.
Sementara di tahun-tahun terakhir (t)uhan bersama program ini, masih sempat kami menggaggas satu nama yang lebih operasional, meskipun nama itu kehilangan satu ‘G’nya dan luput dari bahasan(hingga hari ini) karena desakan waktu laporan program yang harus segera beres, diantara proses finalisasi desain brosur corel draw12 Bima waktu itu. Hingga kami latah dan kerap menyebut diri kami SGP, dengan memangkas satu ‘G’ (Sahabat Gunung Gede Pangrango).
Bahkan ketika sang desainer menyatakan desain brosur selesai, logo kami pun masih berupa gambar satu batang pohon ditepi kelokan jalan mengarah ke gunung, lebih mirip rambu lalulintas pikirku, ketimbang sebagai logo satu komunitas SGP.
Itulah saat-saat kegiatan yang masih kuingat, diantara silih bergantinya peserta sementara tim inti yang ada masih itu-itu saja(hingga hari ini), diantara milis SGP yang masih sepi-sepi aja(tidak seperti hari ini). Dan tentu saja tahun-tahun yang terasa hambar bila tanpa bumbu khas.... ‘cinta lokasi’ yang bermekaran (bahkan kerap berguguran lagi) diantara sahabat kami, baik blak-blakan dengan kabar resmi, atau terkuak akibat sms yang salah kirim tiba-tiba nyasar masuk ke inbox HP ku hingga memicu celotehan relawan lainnya “suiiitt.... suiittt.... pacaran nihh..!”, atau secara tersembunyi melalui persekutuan rahasia, kadang dengan bumbu kebohongan-kebohongan kecilnya demi dalih ‘cinlok’ ini yang sebenarnya tidak kita(dan aku) sukai, namun terbongkar juga ....
Tapi begitulah, lengkap sudah perjalanan komunitas ini, bahkan nampaknya saat ini putaran cerita akan kembali terulang, meskipun yang kutahu hanya sebatas kabar dari jauh dan kadang penggalan-penggalan cerita dari beberapa mulut yang mulai dibumbui(kebohongan lagi?).....
Yang kuingat tahun-tahun itu berlalu dengan beberapa kegiatan kampanye yang tak ber(t)uhan, dan hanya sekali di tahun lalu dia menampakan dirinya. Lantas kemanakah (t)uhan kecil selama ini ??? ...
Sempat angin mengabarkan (t)uhan kecil ada pulau para dewata, mungkin mencari ‘T’ diantara hiruk-pikuk dan busana-busana setengah bugil(atau tanpa busana?) di pantai Kute, sembari menegak beningnya arbal yang(kabarnya) menyengat dahsyat ....
Setelah itu sempat juga satu kawan dari tanah batak mengabarkan pertemuan dengan (t)uhan kecil ini diantara reruntuhan bangunan saat gempa di Bantul, Jogjakarta. Kemudian setelah itu seorang gadis njawi yang hingga hari ini masih mengajar di SD katolik di Bandung, sempat mengisahkan pertemuannya dengan (t)uhan di kota gudeg itu. Sang (t)uhan memboncengnya dengan motor gede tunggangannya.
Itulah kabar-kabar tentanngnya, entah benar atau salah. Namun setelah semua kabar itu sang (t)uhan tak terlacak keberadaannya.
Hingga satu hari seorang kawan mengabarkanku bahwa saat ini(waktu itu) ternyata (t)uhan terdampar di rimba borneo untuk ‘bermain-main’ dengan sekawanan monyet besar. Mungkin dia mencari ‘T’ diantara mereka yang konon menurut beberapa pemahaman ‘ilmiah’(yang aku tidak percaya) adalah sama dengan kita.
Tuhan ada dimana-mana, mungkin begitulah jawabanya tentang pencarian ‘T’, termasuk diantara sekawanan orang utan yang lebih populer di dunia ini ketimbang (t)uhan sekalipun. Namun satu pertanyaan sempat muncul waktu itu, bagaimana mungkin (t)uhan akan melatih sekelompok monyet, sedangkan yang kutahu kemampuannya adalah melatih anjing ???...., namun pertanyaan itu tak begitu kuhiraukan hingga menghilang begitu saja.
Suatu pagi di hari minggu, ketika aku berjalan diatas pedestrian diantara rindangnya pepohonan menuju acara Kereta Kota di taman cilaki Bandung, tiba-tiba (t)uhan menelponku, ... dia menyampaikan beberapa pesan rahasia yang untuk sementara tidak boleh dikabarkan kepada satu kawan dinasnya(kawanku juga) yang saat itu ada di sampingku.
Cukup tegas suaranya terdengar melalui ponselku, diantara pesaNannya yang lain berupa beberapa buah pelampung untuk berperahu karet, “(t)uhan ingin kembali....”, begitulah pesannya.
Tapi kenapa dia meminta merahasiakan pesan pentingnya itu? dan apakah dia akan menggunakan pelampung itu untuk menyeberang pulau, gurauku waktu itu. Yang pasti nampaknya dia sudah rindu untuk kembali melatih anjing-anjingnya yang sudah dua tahunan ditinggalkan, di kaki-kaki gunung gede-pangrango dan beberapa sudut-sudut kota ....
(Bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar