[Gambaran komposisi sampah yang dihasilkan masyarakat] |
Inilah gambaran komposisi sampah yang biasa kita hasilkan dari rumah kita, angka ini juga mewakili volume rata-rata sampah skala kota. Kenyataannya dari seluruh sampah yang kita anggap “sampah tidak berguna” dan tak bermanfaat itu, ternyata setengahnya (bahkan faktanya lebih) adalah jenis organik (wana hijau), yang tentu saja bisa dikelola. Sedangkan setengah lainnya (atau bahkan kurang) adalah jenis nonorganik.
Lebih dari 20-Persen dari sampah non-organik (warna biru) faktanya bernilai manfaat, bisa didaur ulang. Jadi nyatanya hanya maksimal 30-persen saja (bahkan kurang dari itu) yang benar-benar residu atau tidak dapat dikelola (dikompos maupun daur ulang).
Bila minimal 50-Persen adalah jenis yang bisa dikelola (dikompos), dan 20-Persen lagi bisa didaur ulang, maka totalnya minimal 70-Persen merupakan sampah yang bisa dikelola dan bernilai manfaat. Ini tentu bukan angka yang kecil dalam sebuah upaya mengelola dan menyelesaikan persoalan sampah, apalagi faktanya angka yang bisa dikelola dan didaurulang itu seringkali melampaui 70-Persen.
Kontribusi solusi yang berarti, ketimbang terjebak pada perdebatan tak kunjung usai tanpa ada kontribusi, hanya berdebat teori di urusan residu yang 30-Persen dengan teori macam-macam. Pertanyaanya adalah bagaimana kita mulai mengelola sampah yang kita hasilkan....???
Rumah tangga merupakan sektor penghasil sampah terbesar saat ini, terutama di perkotaan. Ketika berbicara tentang bagaimana dan darimana harus memulai upaya mengurangi dan menyelesaikan persoalan sampah tentunya tak lepas dari sejauh mana penanganan sampah itu dimulai dari sumbernya.
Karena rumah tangga merupakan salah satu penghasil sampah
terbesar maka upaya menanganinya tentu sangat berarti bila dimulai dari tingkat
rumah tangga.
Hari ini makin banyak masyarakat mampu mengelola sampah di rumah tangga hingga komunitas, terutama untuk
jenis sampah organik (sampah yang bisa membusuk dan terurai alami).
Metode yang menjadi pilihan populer masyarakat
saat ini adalah metode keranjang kompos 'Takakura'.
Karena kemampuannya, kerap julukan “keranjang
Sakti Takakura” dilekatkan pada metode ini.
Dengan 'keranjang sakti' ini, masyarakat bisa mengelola sampah organik dari rumahnya tanpa harus khawatir dengan persoalan bau, jijik, air lindi dan keterbatasan ruang di rumah. Karena keranjang sakti Takakura ini memungkinkan proses pengkomposan dilakukan di ruang yang tak perlu luas, dan tak menimbulkan bau, apalagi air lindi dari proses pengkomposannya.
Metode ini hasil penelitian seorang ahli dari Jepang, Mr. Koji Takakura, yang melakukan penelitian di Surabaya bersama PUSDAKOTA (Pusat Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan Surabaya). Mr. Takakura menjadi peneliti kompos, sekaligus terlibat sebagai ahli dalam pemberdayaan masyarakat bersama PUSDAKOTA. Dia memilih sampah rumah tangga sebagai ajang penelitiannya.
Mr. Takakura datang ke Surabaya dalam rangka program kerjasama dua kota saudara (Sister City), antara Kota Kitakyushu-Jepang dan kota Surabaya-Indonesia dari tahun 2001 – 2006. Saat itu Jepang mengirimkan tenaga ahlinya untuk membantu penelitian dalam mencari solusi persoalan sampah kota Surabaya.
Selama setahun Mr. Koji Takakura melakukan Riset di Surabaya, untuk menemukan sistem pengolahan sampah organik dengan mencari jenis bakteri (aerob) yang bisa mengurai sampah organik, tanpa menimbulkan bau, dan tidak menyebakan proses penguraian (pengomposan) menghasilkan cairan lindi alias tetap kering.
Bakteri jenis inilah yang kemudian menjadi “biang” utama atau “starter” dalam proses pengomposan keranjang sakti Takakura, yang hari ini banyak digunakan masyarakat di berbagai kota di Indonesia.
Inilah gambar keranjang kompos tersebut.
Bagaimana cara kerja keranjang sakti Takakura?
Bila kita sudah memiliki keranjang seperti ini (atau keranjang sejenis), secara sederhana proses penggunaannya ditunjukan
melalui gambar dibawah ini:
Dengan 'keranjang sakti' ini, masyarakat bisa mengelola sampah organik dari rumahnya tanpa harus khawatir dengan persoalan bau, jijik, air lindi dan keterbatasan ruang di rumah. Karena keranjang sakti Takakura ini memungkinkan proses pengkomposan dilakukan di ruang yang tak perlu luas, dan tak menimbulkan bau, apalagi air lindi dari proses pengkomposannya.
Metode ini hasil penelitian seorang ahli dari Jepang, Mr. Koji Takakura, yang melakukan penelitian di Surabaya bersama PUSDAKOTA (Pusat Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan Surabaya). Mr. Takakura menjadi peneliti kompos, sekaligus terlibat sebagai ahli dalam pemberdayaan masyarakat bersama PUSDAKOTA. Dia memilih sampah rumah tangga sebagai ajang penelitiannya.
Mr. Takakura datang ke Surabaya dalam rangka program kerjasama dua kota saudara (Sister City), antara Kota Kitakyushu-Jepang dan kota Surabaya-Indonesia dari tahun 2001 – 2006. Saat itu Jepang mengirimkan tenaga ahlinya untuk membantu penelitian dalam mencari solusi persoalan sampah kota Surabaya.
Selama setahun Mr. Koji Takakura melakukan Riset di Surabaya, untuk menemukan sistem pengolahan sampah organik dengan mencari jenis bakteri (aerob) yang bisa mengurai sampah organik, tanpa menimbulkan bau, dan tidak menyebakan proses penguraian (pengomposan) menghasilkan cairan lindi alias tetap kering.
Bakteri jenis inilah yang kemudian menjadi “biang” utama atau “starter” dalam proses pengomposan keranjang sakti Takakura, yang hari ini banyak digunakan masyarakat di berbagai kota di Indonesia.
Inilah gambar keranjang kompos tersebut.
[Keranjang kompos rumahan "Takakura"] |
Bagaimana cara kerja keranjang sakti Takakura?
Cukup sederhana mengkompos dengan metode ini di rumah kita, hanya
perlu memisahkan jenis sampah organik ini dari jenis lainnya kemudian
memasukannya setiap hari kedalam keranjang kompos Takakura, satu kiat tambahan dengan terlebih
dahulu mecacah sampah organik kita menjadi ukuran kecil-kecil, tantunya agar lebih cepat proses penguraiannya.
[Panduan sederhana menggunakan komposter 'Takakura'] |
- Pertama kita buka tutup keranjang, tutup keranjang ini sudah dilapisi kain tipis yang tidak rapat, lalu keluarkan bantalan (sekam).
- Kemudian kita gali lubang persis di tengah bagian media (biang/starter) pengkomposan, kira-kira sedalam atau seukuran jumlah sampah yang akan dimasukan. (Gambar 1 dan 2)
- Kemudian kita masukan sampah organik yang kita hasilkan di rumah kedalam lubang yang telah kita gali tersebut. Mencacah bahan-bahan organik terlebih dahulu sebelum dimasukan ke lubang kira-kira ukuran 1 hingga 2-cm akan lebih membantu proses penguraian/kerja bakteri pengurai.
- Kemudian kita kubur lubang dan sampah yang kita masukan tadi dengan media (starter) yang ada di sekitar lubang galian tadi. (Gambar 3 dan 4)
- Terakhir, tinggal tutup kembali media (starter) pengkomposan tadi dengan bantalan (sekam), dan tutup keranjang dengan tutupnya yang sudah dilapisi kain.(Gambar 5 dan 6)
- [Jika anda perlu panduan lengkap dan cara membuat media 'Takakura', silahkan klik: Manual Komposting Takakura].
Cukup mudah cara kerjanya kan? Rasanya tak ada alasan
bagi kita untuk tidak bertanggung jawab menyelesaikan persoalan sampah yang
kita hasilkan, mulai dari sumber terdekat, rumah kita sendiri.
Bila kita mencoba dan melakukan cara semacam ini, artinya kita sudah berpartisipasi nyata dalam penyelesaian persoalan sampah (50 hingga 70-Persen). Selain metode ini kita bisa juga pilih atau kombinasikan dengan metode pengomposan lainnya yang kira-kira sesuai dengan kondisi kita.
Jangan lupa, saat ini sudah ada undang-undang persampahan yang baru, yang membawa misi pengelolaan sampah ter-desentralisasi atau dikelola mulai dari sedekat mungkin dari sumber sampah dihasilkan. Setiap warga wajib mengelola sampah, atau itu sama artinya dengan sampah adalah hal wajib yang harus kita kelola.
Bila kita mencoba dan melakukan cara semacam ini, artinya kita sudah berpartisipasi nyata dalam penyelesaian persoalan sampah (50 hingga 70-Persen). Selain metode ini kita bisa juga pilih atau kombinasikan dengan metode pengomposan lainnya yang kira-kira sesuai dengan kondisi kita.
Jangan lupa, saat ini sudah ada undang-undang persampahan yang baru, yang membawa misi pengelolaan sampah ter-desentralisasi atau dikelola mulai dari sedekat mungkin dari sumber sampah dihasilkan. Setiap warga wajib mengelola sampah, atau itu sama artinya dengan sampah adalah hal wajib yang harus kita kelola.
Akhirnya, bila selama ini kita menganggap kebersihan adalah sebagian
daripada iman, maka perlu kita renungkan kembali bagaimana sesunggunya kita
melakukan proses kebersihan dan membersihkan lingkungan kita selama ini.
Pada
kenyataannya proses bersih yang kita lakukan umumnya
dengan memindahkan/membuang sampah (meskipun pada tempatnya), sejauh
mungkin dari tempat kita. Secara naluriah (alami) kita memang tidak mau
hidup
berdekatan dengan sampah, dan kita ingin jauh atau menjauhkannya.
Sampah kita hanya berpindah tempat, dari rumah kita, berpindah ke TPS, kemudian diangkut ke TPA. Sampah kita sebenarnya tetap ada, “Cuma berpindah tempat !”. Artinya masalah kita menjadi pindah ke tempat orang lain.
Sampah kita hanya berpindah tempat, dari rumah kita, berpindah ke TPS, kemudian diangkut ke TPA. Sampah kita sebenarnya tetap ada, “Cuma berpindah tempat !”. Artinya masalah kita menjadi pindah ke tempat orang lain.
Ketika tempo hari TPA kota Bandung di Leuwigajah longsor, dan memakan korban
jiwa lebih dari 140-orang, bisa jadi diantaranya adalah karena sampah yang kita
buang ke tempat sampah, kemudian diangkut ke TPS dan diangkut kesana. Bahkan
bukan tidak mungkin pemicu ledakan yang konon berasal dari reaksi gas metana dan
lainnya itu adalah dari sampah yang dihasilkan di rumah kita.
Bisa jadi kita berkontribusi dalam proses “pembunuhan”
tersebut demi dalih “kebersihan sebagian daripada iman yang mungkin secara
tidak sadar telah dimaknai salah yang akhirnya malah menzhalimi.
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar