09 November 2010

imagologi SBY ...

“zaman ini adalah zaman dimana idealisme dikalahkan oleh realitas dan realitas tidak berdaya dihadapan pencitraan”. (Milan Kundera)


     Dalam bingkai demokrasi saat ini media berperan luar biasa penting, terutama dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi masyarakat secara luas. Pesan yang disampaikan melalui media mendapat ‘feed back’ dari publik, hingga menjadikan media sebagai  pilar kelima dari demokrasi. Media menjadi sarana yang turut mempengaruhi dan menjaga eksistensi demokrasi, tidak hanya mempengaruhi, tapi sekaligus menjangkau lebih luas pada kehidupan publik.

     Indonesia merupakan negara dimana masyarakatnya sangat majemuk dan memiliki ikatan kuat pada tradisi budaya leluhur, mistikus serta ‘pemujaan’ pada figur-figur yang(dianggap) memiliki kharisma. Budaya patriarkis yang tumbuh dan mengakar di negeri ini mewujud hingga ke dalam bentuk pengkultusan sosok(pemimpin) yang dianggap memiliki kemampuan diluar nalar bahkan sosok yang dianggap ‘ngelmu’.

     Karakter dan budaya ini belum luntur hingga hari ini, bahkan pada kenyataanya sulit untuk berubah, hanya berganti rupa dan dikemas dalam bentuk sajian ‘entertaint’ yang ditunjang oleh hadirnya perangkat media yang lebih modern yang mampu menyasar masyarakat hingga pelosok-pelosok, hingga bisa menggiring opini masyarakat luas terhadap satu isu dan persoalan yang dikemas dan dicitrakan tertentu melalui media (terutama elektronik dan cetak). Masyarakat akhirnya bukan percaya pada realitas, namun lebih menyandarkan kepercayaannya kepada apa yang dikatakan dan apa yang diiklankan media.

    Dalam dunia politik terutama politik pencitraan, media tentu saja menjadi kekuatan yang tidak bisa dielakan, seperti yang dilakukan pemimpin negeri ini, dimana masyarakat hari ini masih mudah terbius oleh opini yang dikembangkan dan dikemas ‘di belakang layar’ melalui sosok SBY.

    Pencitraan adalah sebuah karya kreatif yang dibalut dengan berbagai teknik persuasi, yang hasilnya menampilkan sesuatu yang lebih menarik dan meyakinkan. RM Pollay (1983) mengungkapkan, citra diproses dan dibentuk dari suatu realitas, dia beranjak dari kenyataan, kemudian dibingkai dalam suatu abstraksi yang diberi makna. Sehingga politik pencitraan secara sederhana bisa dikatakan merupakan politik mengemas sebuah realitas kedalam satu tampilan menarik dan bermakna sesuai kepentingan pengusungnya.

     Seiring perkembangan, politik telah menjadi variabel yang melebur dengan konsepsi pencitraan. Politik kontemporer telah bertransformasi menjadi bagian dari budaya pop yang kadang kala lebih bersentuhan dengan ‘persepsi’ dan ‘citra’ dibandingkan dengan realita. 

     Fenomena ini sendiri berjalan linier seiring dengan perkembangan budaya televisi dan digital. Dalam Politics and Popular Culture, Street (1997) melukiskan genre politik ini sebagai a matter of performance. Permainan di depan pemirsa televisi menjadi bentuk seni pertunjukan. Dalam kondisi ini, citra, kesan, dan penampilan luar adalah segalanya. Ia perlu dikemas agar memikat masyarakat.

      Secara praktis, politik pencitraan sendiri dapat terbagi kedalam tiga pendekatan, yaitu: Iklan(advertising), Public Relation, dan Personal Contact. Ketiganya memiliki derajat kegunaan yang setaraf, tergantung pada situasi (where/when) dan target (who) yang dijadikan sasaran. Yang paling umum dikenal tentu saja adalah iklan(advertising), yang kehadirannya sering dianggap barometer di era political marketing.

    Iklan politik merupakan pendekatan yang sangat ampuh menyasar target kesaradan(awareness) dalam jumlah besar dan cepat, dari pusat perkotaan hingga pelosok-pelosok negeri seperti di Indonesia (terutama melalui media elektronik dan cetak). Namun disisi lain iklan juga memiliki keterbatasan dalam hal penyampaian pesan yang terkekang oleh batasan dari instrumen media yang dipakainya, termasuk dalam iklan politik.

     Pendekatan lain adalah Public Relation, biasanya berkaitan dengan terbangunnya suatu persepsi melalui pemberitaan yang ada di media. Sesuai dengan penjelasan Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dalam tulisan mereka “The Agenda Setting Function of Mass Media” (1972) yang mengatakan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

      Penggunaan media ini biasa digunakan dalam upaya membangun opini publik secara implisit. Pembangunan citra dilakukan melalui pemberitaan dan opini secara berkelanjutan untuk menanamkan persepsi tertentu khalayak yang disasar. Di Indonesia sendiri, cara ini belum terlalu banyak digunakan layaknya di negara-negara maju.

     Yang terakhir adalah personal contact. Pendekatan klasik ini tidak kalah penting dilakukan, terutama di negara yang masih berkembang. Biasanya dilakukan melalui event, pengerahan massa dalam masa kampanye, ataupun secara door to door. Misalnya sebagaian masyarakat di Indonesia pada masa kampanye masih merasakan perlunya kehadiran seorang kandidat/pejabat secara langsung. Hal ini terasa lebih kuat aspek emosionalnya dalam penyampaian sebuah pesan. 

    Dalam kampanye politik yang berbasi pencitraan ini presiden SBY memang boleh dibilang cukup piawai. Contohnya saat presiden berpidato di Amerika Serikat sebagai upaya meyakinkan publik AS tentang Indonesia yang sudah berubah, yang ketika itu dinilai begitu memikat, hingga kabarnya mampu mengundang standing ovation dari mereka yang hadir.

    Pidato seperti itu memang diperlukan disaat Indonesia saat itu menghadapi banyak kendala karena citra yang buruk. Indonesia disebut tengah mengalami krisis keuangan, capital flight, tidak stabil, penuh konflik etnis, pelanggaran HAM, pergolakan separatisme dll. Indonesia hari ini bukanlah Indonesia pada masa lalu, Indonesia hari ini adalah Indonesia yang telah berubah.

     Namun apakah lantas pencitraan yang dilakukan SBY itu sesungguhnya menyasar persoalan yang substansial dan persoalan pokok yang terjadi saat ini di negara ini? Kemudian pada hari ini apakah model-model pidato yang menentramkan seperti itu yang kerap disajikan pada rakyatnya hari ini merupakan realitas yang terjadi di lapangan? Ataukah sesungguhnya masih banyak (kalau tidak dikatakan semuanya) yang dicitrakan baik dan positif itu sesungguhnya hanya seolah-olah saja dari realitas sesungguhnya? 

     Untuk bisa menilai mana yang merupakan realitas dan mana yang merupakan sekedar ‘seolah-olah’ saja ini tentu kita haruslah kritis melihat dan mendalami substansi persoalannya satu persatu. Namun yang pasti adalah kita mutlak berhati-hati dengan jebakan model politik pencitaraan ini, karena pada kenyataannya pencitraan tidaklah selalu berbanding lurus dengan realita yang terjadi, dia hanyalah abstraksi dari kepentingan pemaknaan sesuai tujuan dari pengusungnya.

     SBY memanfaatkan politik pencitraan dan menjadikannya sesuatu yang penting dilakukan dalam mengalang dukungan dari rakyat negeri ini, tentu saja ini dilakukan pada saat sebuah realitas masih memiliki ketidakjelasan, meragukan dan memerlukan jawaban dari pertanyaan, maka kemasan untuk menyakinkan menjadi sangat berpengaruh untuk menarik objek atau realitas itu mendapatkan kepercayaan di hati masyarakat.

     Selain itu karakter dan kultur masyarakat negeri ini (yang sudah mengakar dan sulit berubah) yang lebih menyandarkan rasa percaya dan kenyamanannya pada apa yang didengar, dikatakan dan diisukan bukan menyandarkan pada realitas yang terjadi dan dialami, membuat peran politk pencitraan mendapat tempat yang sangat leluasan di dalam kancah perpolitikan negeri ini, bahkan menjadi arus utama model pendekatan publik yang dilakukan SBY terhadap rakyatnya. Tentu saja untuk secara cepat dan masif mengambil dan meraih simpati dan dukungan masyarakat.

     Namun demikin bukan berarti strategi politik ini tidka memiliki konsekwensi, karena tentu saja muncul dampak dari apa langkah dan pilihan politik yang ditempuh SBY dan lingkaran kekuasaannya itu. Memang model ini bisa secara cepat meraih simpati dan dukungan masyarakat karena menyentuh sisi empati dan rasa(afeksi) nyaman yang didapat masyarakat secara luas, bukan sisi kritis berpikir nalar. Serta membuat stabilitas yang diharapkan bisa cepat terwujud dalam waktu singkat.

     Namun kondisi-kondisi itu adalah kondisi rapuh dari sebuah kepalsuan, karena tentu saja bila semua tidak seperti realitasnya maka secara cepat pula menjadi sesuatu yang mematikan, ibarat pisau bermata dua. Ketika akhirnya kesadaran masyarat menjadi cepat pulih dan menjadi kritis memandang realitas, maka semua akan berbalik menjadi sesuatu yang menyerang balik pengusungnya. Apalagi bila apa yang dikatakan dan di janjikan tidaklah sesuai dengan realitas yang terjadi dan dilakukan.

    Strategi politik pencitraan hanya akan menjadikan menara gading yang jauh dari persentuhan dengan realitas di lapangan. Masyarakat dibius dan dibuai dengan pernyataan-pernyataan yang nyaman dan menentramkan, namun dalam kenyataannya semakin hari semakin muncul jurang yang dalam antara yang disampaikan dengan apa yang terjadi, dialami dan dirasakan masyarakat.

     Kronisnya pada hari ini adalah karena pemimpin negara saat ini nampaknya sudah terlalu percaya diri pada politik pencitraan yang mewarnai kepemimpinannya, yang menjadikannya semakin tidak melek terhadap realitas yang terjadi dan dialami langsung oleh rakyatnya.

     Beberapa contoh yang bisa dicermati dari berbagai peristiwa dan pengambilan kebijakan pemimpin negeri ini antara lain seperti disaat polemik di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan Agung tidak dapat terhindarkan karena presiden dinilai tidak tegas terhadap institusi tersebut. Atau contoh lainnya adah pernyataan presiden yang akan mensejahterakan petani dan membangun kesejahteraan kaum petani, namun dalam realitasnya belum ada kebijakan politik yang konkrit dan tegas menyasar langsung pada upaya mensejahterakan petani, bahkan penerapan pajak impor beras untuk membendung membanjirnya produk asing kedalam negeri masih sangat rendah, hanya 30 persen saja.

     Contoh lain seperti kasus ledakan tabung gas 3 kg. yang masih terjadi hingga hari ini, kasus pemberantasan korupsi yang dalam pencitraannya menjadi salah satu target penting masa jabatannya namun dalam kenyataannya malah diserahkan pada satu lebaga ad hoc, kasus bank Century hingga berbagai kasus besar lainnya yang akhirnya hanya terjebak pada perdebatan pencitraan presidennya saja, bukan pada substansi dan penyelesaian persoalan pokoknya. 

     Pernyataan dan kebijakan-kebijakan yang ditempuh tersebut dinilai tidak sedikitpun menjawab substansi persoalannya. Presiden dinilai selalu mengalihkan jawabannya ke arah pencitraan, yang bisa membuat publik simpatik, tetapi tidak pernah terdengar Presiden menjawab substansi persoalan yang terjadi.

     Politik pencitraan memang sangat banyak tergantung pada rekayasa media, bahkan SBY dari mulai kiprahnya di dunia politik semasa disisihkan oleh megawati hingga hari ini sangat erat dipengaruhi dan menggunakan media untuk menorong dan membangun citra serta popularitasnya. Media yang berpengaruh nasional selalu menempatkannya dalam porsi pemberitaan yang cukup gencar. Bahkan tidak jarang pada masa kampanye masyarakat akhirnya seperti membeli kucing dalam karung, karena ketidakfahamannya atas apa dan siapa sosok dan tokoh yang dipilihnya.

     Melencengnya substansi menjadi perdebatan tentang politik pencitraannya, bukan pada substansi pokok persoalan (misalkan saat kebijakan kenaikan harga BBM dan pengalihan dari minyak tanah ke gas elpiji menjadi pokok persoalan, maka yang kemudian ramai diperdebatkan adalah cara dari SBY merespon kritikan masyarakat tentang dua isu tersebut dengan politik pencitraannya) hanya akan menjadi sebuah pembodohan publik dan menjadikannya semakin jauh bersentuhan dengan realitas layaknya sebuah menara gading. 

     Dalam konteks ini politik pencitraan seperti ini bahkan dianggap berdosa karena memberi ‘make up’ yang berhasil menutup ‘wajah asli’ dari realitas yang terjadi dan dialami masyarkat negeri ini pada hari ini. Menggiring opini publik pada sebuah 'kesan' atau image yang sebenarnya bukannlah realitas, namun seolah menjadi sebuah realitas, bahkan lebih menarik, lebih menjual dan lebih meyakinkan dari sebuah realitas melalui kemasannya.

     Kalaupun kemudian pencitraan ini oleh kalangan istana dianggap sebagai sesuatu yang dipandang bernilai positif, namun pada kenyataanya upaya-upaya politik pencitraan ini mendapat penilaian buruk dan menjadi berdampak negatif karena pencitraan tersebut tidak diimbangi dengan ketegasan Presiden dalam penegakan hukum dan kebijakannya.

     Pada akhirnya model politik pencitraan ini hanya akan menempatakan rakyat pada jurang ketidakberdayaan dan pembodohan oleh pemimpinnya, menempatkan masyarakat sebagai objek yang semakin hari semakin buta akan realitas yang terjadi dan dialami oleh dirinya dan saudara-saudaranya di pelosok negeri. Bahkan pada akhirnya model politik ini hanya akan menyengsarakan rakyat, karena tidak mampu menjadi jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalah nyata yang terjadi dan dialami rakyat di negeri ini.

     Media massa juga sering dimanfaatkan untuk melakukan pembunuhan karakter, menggunakan media massa sebagai sarana untuk menyerang atau menjelekkan citra lawan politik menjadi satu strategi massif dan efektif, sehingga sudah sangat penting jika media mutlak harus menempatkan dirinya di posisi yang profesional, mandiri dan selektif terhadap apa yang akan disebarluaskannya, tidak terjebak pada kepentingan satu pihak dan golongan.

     Media hari ini penting mendidik masyarakat negeri ini yang masih ‘terjebak pada kemasan dan citra’ ketimbang realitas untuk menjadi masyarakat yang kritis dan mampu memahami realitas secara dalam, sehingga tidak mudah diombang-ambingkan permainan politik kemasan.

     Media harus menyadarkan dan mengingatkan masyarakat dari lupa, karena sekali lagi mengutip Milan Kundera, perjuangan melawan dampak buruk politik dan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa, bahkan Marxis dalam teorinya mengatakan bahwa orang kerap terjebak oleh citra, karena memilih berdasar kesadaran palsu(membeli citra yang palsu), yang kemudian sadar akan hal-hal buruknya setelah sesuatu menjadi miliknya.

* * * *



Tidak ada komentar: