14 Februari 2013

Tanah (Kompos) Itu Sehat

[Salah satu anak menunjukan tanganya yang berlumur tanah media pengomposan, tak jijik dan tak ragu]

Hari ini saya dapat kesempatan ngisi sesi materi tentang pemisahan sampah dan mengkompos dengan metode keranjang kompos 'Takakura', di sekolah Cendikia Muda Bandung. 

Saat permintaan mengisi sesi itu disampaikan rekanku, imajinasi yang muncul di kepala adalah masa kanak-kanak yang penuh energi dan gerak, lengkap dengan suasana hiruk-pikuk dan bayangan anak-anak (kami waktu kecil) yang berlari kesana-kemari.

Imajinasi masa kecilku menuntunku dalam menyiapkan materi yang akan 'didongengkan' pada mereka mahluk-mahluk mungil yang hebat ini.

Bermain, bercerita, dan bergerak dinamis menjadi prinsip dasar yang musti saya jadikan acuan berbagi pengetahun dengan mereka.


Sesi materi kelas tentang keranjang kompos model 'Takakura' inipun aku kemas ibarat dongeng tentang tanah yang berisi bakteri baik yang membantu proses penguraian di dalam tanah.  

Aku pesankan pada mereka untuk tidak takut pada tanah karena tanah adalah sumber penumbuh kehidupan, tanah itu sumber kehidupan dan menghidupkan. Bahkan kita semua berpijak di bumi yang sebagian besar adalah tanah.


[Dengan antusias siswa-siswi sekolah Cendikia Muda menyimak 'dongeng'ku tentang keranjang kompos model 'Takakura', di Bandung 2 Februari 2013]

Pesan lain dalam dongeng komposku adalah "Tidak semua bakteri itu jahat", sangat banyak bakteri baik yang membantu proses penguraian sampah organik di tanah(mereka sudah faham organik-non organik juga lho).

Bahkan andaikata tidak ada bakteri pengurai di tanah bisa jadi jasad Mahapatih Gadjah Mada (agak lebay sih) hingga hari ini masih utuh di dalam tanah tidak diurai bakteri. Jadi jangan takut dengan bakteri yang baik dan ayo bermain tanah!
 
[Para pelajar cilik inipun tak ragu bergumul dengan tanah yang berisi mikroorganisme pengurai sebagai bahan media pengomposan]

Anak-anak luar biasa inipun akhirnya 'terprovokasi' (dengan tujuan positif tentunya) oleh dongengku. Mereka terbukti tak ragu dan tak takut untuk bersentuhan bahkan bergumul dengan tanah saat sesi praktek membuat media (biang) kompos.

Dalam dunia mereka, bermain dan 'kotor-kotoran' dengan tanah justru menyenangkan, apalagi jika dilakukan secara beramai-ramai dengan kawan-kawan sebayanya. 


[Para siswa rame-rame memasukan campuran bahan media komposter kedalam karung untuk diendapkan selama beberapa hari sebelum media siap digunakan dalam keranjang kompos 'Takakura']
 
Bagi kita yang sudah lebih tua dari mereka, semoga ini jadi pembelajaran bahwa secara alamiah kita itu hidup dan tumbuh diatas pijakan bumi (tanah), kita itu selalu dekat dengan bumi (tanah), sehingga tidak bijak jika aktivitas hidup kita selalu memandang tanah itu kotor dan tidak bermanfaat.

Pandangan itu yang kemudian mendorong kita untuk memusuhi tanah, memusuhi bumi dan semakin jauh dari alam yang telah membuat kita tumbuh tegak hingga hari ini, lebih gawatnya lagi saat kita mengajarkan anak cucu kita untuk sama-sama memusuhi tanah, memusuhi alam, dan menganggap alam tak penting.



* * * *

Tidak ada komentar: