Kali Bengawan menginspirasi seniman besar Gesang untuk menggubahnya menjadi syair lagu Bengawan Solo yang terkenal melintas bangsa, di dalamnya ada kalimat syair "... air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut"....
Nampaknya ingin menekankan keberlimpahan air kali Bengawan yang mampu bertahan berkelok ratusan kilometer hingga mencapai lautan, tak peduli itu di musim kemarau sekalipun.
Saat lagu itu diciptakan tentu saja kondisi lingkungan alami tangkapan dan resapan di hulu hingga sepanjang aliran sungai masih terjaga dari pengrusakan besar-besaran, sehingga keberlimpahannya tetap terjaga di musim kemarau sekalipun. Bahkan ...
boleh jadi bukan hanya kali Bengawan yang saat itu masih memiliki pasokan air yang berlimpah, namuk banyak sungai lain di tanah jawa yang kualitas hulu sungainya masih baik sehingga kwantitas airnya masih tetap terjaga di musim kemarau.
Namun kini cukup sepintas saja mengamati kondisi sungai di sekitar kita maka akan sangat 'njomplang' kondisinya, saat musim hujan air sungai melimpah meluap tak terkendali hingga menjadi bencana, sementara saat kemarau aliran sungai seperti galian panjang tanah yang kerontang hanya diisi sampah dan material dasar sungai.
Ada yang sudah berubah tidak wajar jika kita cerna saat membandingkan dua fenomena tersebut. Rusaknya ekosistem alam daerah tangkapan dan resapan air tentu menjadi sebab fenomena yang 'njomplang' tadi.
Banyak upaya yang sudah dilakukan untuk memperbaiki ekosistem alam, namun nampaknya upaya-upaya perbaikan lingkungan ini belum mampu mengimbangi kecepatan atau bahkan belum mampu bekerja lebih cepat dan efektif dibanding proses pengrusakan alam yang terjadi hingga detik ini. Akibatnya setiap upaya tadi nampak belum terlihat hasilnya secara massif.
Proses pengrusakan alam yang manusia lakukan ternyata jauh lebih cepat daripada kemampuan alam memulihkan dirinya, sehingga seperti buih di lautan upaya penyelamatan dan pelestarian yang kita lakukan.
Uhh...
Nampak terlalu jauh saya memulai, padahal hanya ingin sekedar berbagi cerita dari pengalaman hari kemarin, dimana mulai makin banyak masyarakat dan generasi muda yang peka dan peduli dengan masalah yang dialami lingkungan alamnya.
Seperti yang ditunjukan para santri pondok pesantren Al Ihsan di Cibiru Kabupaten Bandung, mereka peka akan persoalan banjir 'cileuncang' yang semakin rutin menyergap kawasan pondok pesantren mereka ketika hujan mengguyur, hingga akhirnya mengusik kesadaran dan kepedulian mereka untuk berbuat sesuatu.
Hari Sabtu, 25 Mei 2013 sayapun diminta untuk berbagi pengalaman mengisi materi (teori dan praktek) bagaimana melakukan upaya sederhana mengatasi dampak banjir 'cileuncang' dengan metode lubang biopori. Belum tentu semua persoalan selesai, namun setidaknya bisa mengurangi dampak masalah yang terjadi, inilah bagian dari solusi.
Mereka peka dan peduli, kepekaan atas masalah dan kepedulian mereka untuk menyelesaikan masalah mendorong mereka untuk mencari solusi untuk memecahkan masalah yang terjadi.
Semoga konsisten dan memberi manfaat bagi sesama.
Dan semoga dengan membuat lubang resapan di lingkungan mereka akan menjadikan air yang berlimpah-limpah tidak lagi mengalir hingga terlalu jauh (menjadi banjir cileuncang), namun mampu kembali diserap bumi menjadi cadangan air yang membawa manfaat.
Nampaknya ingin menekankan keberlimpahan air kali Bengawan yang mampu bertahan berkelok ratusan kilometer hingga mencapai lautan, tak peduli itu di musim kemarau sekalipun.
Saat lagu itu diciptakan tentu saja kondisi lingkungan alami tangkapan dan resapan di hulu hingga sepanjang aliran sungai masih terjaga dari pengrusakan besar-besaran, sehingga keberlimpahannya tetap terjaga di musim kemarau sekalipun. Bahkan ...
boleh jadi bukan hanya kali Bengawan yang saat itu masih memiliki pasokan air yang berlimpah, namuk banyak sungai lain di tanah jawa yang kualitas hulu sungainya masih baik sehingga kwantitas airnya masih tetap terjaga di musim kemarau.
Namun kini cukup sepintas saja mengamati kondisi sungai di sekitar kita maka akan sangat 'njomplang' kondisinya, saat musim hujan air sungai melimpah meluap tak terkendali hingga menjadi bencana, sementara saat kemarau aliran sungai seperti galian panjang tanah yang kerontang hanya diisi sampah dan material dasar sungai.
Ada yang sudah berubah tidak wajar jika kita cerna saat membandingkan dua fenomena tersebut. Rusaknya ekosistem alam daerah tangkapan dan resapan air tentu menjadi sebab fenomena yang 'njomplang' tadi.
Banyak upaya yang sudah dilakukan untuk memperbaiki ekosistem alam, namun nampaknya upaya-upaya perbaikan lingkungan ini belum mampu mengimbangi kecepatan atau bahkan belum mampu bekerja lebih cepat dan efektif dibanding proses pengrusakan alam yang terjadi hingga detik ini. Akibatnya setiap upaya tadi nampak belum terlihat hasilnya secara massif.
Proses pengrusakan alam yang manusia lakukan ternyata jauh lebih cepat daripada kemampuan alam memulihkan dirinya, sehingga seperti buih di lautan upaya penyelamatan dan pelestarian yang kita lakukan.
Uhh...
Nampak terlalu jauh saya memulai, padahal hanya ingin sekedar berbagi cerita dari pengalaman hari kemarin, dimana mulai makin banyak masyarakat dan generasi muda yang peka dan peduli dengan masalah yang dialami lingkungan alamnya.
Seperti yang ditunjukan para santri pondok pesantren Al Ihsan di Cibiru Kabupaten Bandung, mereka peka akan persoalan banjir 'cileuncang' yang semakin rutin menyergap kawasan pondok pesantren mereka ketika hujan mengguyur, hingga akhirnya mengusik kesadaran dan kepedulian mereka untuk berbuat sesuatu.
Hari Sabtu, 25 Mei 2013 sayapun diminta untuk berbagi pengalaman mengisi materi (teori dan praktek) bagaimana melakukan upaya sederhana mengatasi dampak banjir 'cileuncang' dengan metode lubang biopori. Belum tentu semua persoalan selesai, namun setidaknya bisa mengurangi dampak masalah yang terjadi, inilah bagian dari solusi.
Mereka peka dan peduli, kepekaan atas masalah dan kepedulian mereka untuk menyelesaikan masalah mendorong mereka untuk mencari solusi untuk memecahkan masalah yang terjadi.
Semoga konsisten dan memberi manfaat bagi sesama.
Dan semoga dengan membuat lubang resapan di lingkungan mereka akan menjadikan air yang berlimpah-limpah tidak lagi mengalir hingga terlalu jauh (menjadi banjir cileuncang), namun mampu kembali diserap bumi menjadi cadangan air yang membawa manfaat.
Ini foto-fotonya.
[Dihadapan para santri peserta praktek pembuatan lubang resapan/komposter biopori, dijelaskan tentang fungsi dan prinsip-prinsip kerja bor tangan pembuat lubang galian] |
[Para santri ikhwat berfoto bersama usai sesi praktek membuat lubang resapan/komposter biopori di pesantre Al Ihsan Bandung, 25 Mei 2013] |
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar