15 Juni 2013

Apapun Makanannya, Sampahnya Bagaimana...??

[Tumpukan sampah di bantaran Cikapundung sekitar curug Dago]

"Apapun makanannya, minumnya tetap teh ….'tiiit' …."    #sensor.

Ini adalah iklan (yang disensor) tentang satu produk minuman ringan yang bisa menyertai apapun makanan yang dikonsumsi. Jika kita gunakan untuk sekedar refleksi atas cara kita makan dan semua tetek-bengek terkait konsumsi, maka kira-kira akan jadi kalimat tanya seperti ini:

"Apapun makanannya, lantas sampahnya bagaimana?"


Ya, apapun makanannya, dan dimanapun tempatnya, maka yang kerap menyisakan persoalan dan luput dari jangkauan kepedulian kita adalah 'bagaimana dengan sampahnya?'. Apakah hanya cukup dibuang, dibuang, dan dilupakan?

Sampah tetap menjadi persoalan sekaligus menantang untuk digeluti, itulah kondisi yang saya lihat saat diundang dan diminta memberi gambaran ragam solusi praktis pengelolaan sampah, pada kegiatan pemicuan program STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) di RW. 08 Kelurahan Ciumbuleuit Bandung, sabtu 15 Juni 2013.

Kegiatan yang difasilitasi Dinas Kesehatan Kota Bandung ini secara umum mengangkat persoalan sanitasi dan kesehatan lingkungan, namun secara natural memunculkan persoalan perilaku dan pengelolaan sampah belum tertangani dengan baik di tempat ini.

Fakta yang diungkapkan warga tentang maraknya ‘projek’ berlabel ‘Cikapundung’ dari instansi terkait, lembaga swasta, maupun dunia akademik kampus, nyatanya masih belum banyak menghasilkan solusi jitu akan penanganan masalah sampah, hingga tak mengherankan jika masih banyak sampah dibuang sembarangan.

Gerombolan anak kecil yang nampak masih lugu dan jujur mengungkap fakta secara alami saat ditanya “Kemana sampah yang dihasilkan dari rumahmu dibuang?” Mereka menjawab spontan, ke kuburan, ke kebun, atau juga ke tepi Cikapundung.

Anak-anak masih cukup lugu dan jujur menjawab pertanyaan berdasar apa yang mereka lihat dan alami, berbeda dengan kita orang dewasa yang menggunakan logika pemikiran bersandar pada konsep ‘kebenaran kolektif’. Sehingga saat ditanya kemana kita membuang sampah, maka jawaban ‘standar orang dewasa’ biasanya adalah ‘ke tempat sampah’, padahal kenyataannya???

Kesimpulan dari proses yang dilakukan di tempat ini bahwa masyarakat sudah sadar, sudah tersentuh untuk mulai bergerak menyelesaikan masalah, lantas bagaimana solusinya???


Ada cukup contoh yang bisa ditiru dan dijalankan untuk mengelola sampah, baik itu melalui model-model pengomposan sampah organik (apalagi masih cukup lahan-lahan terbuka di tempat ini), melalui mekanisme pemilahan dan mengelola sampah nonorganik yang bernilai rupiah seperti model bank sampah, dan model lain yang berbasis 3 R (Reduce, Reuse, Recycle).

Upaya-upaya tersebut paling tidak bisa mulai menekan jumlah sampah yang dihasilkan, termasuk tentu saja menjadi sebuah prinsip penting jika kita bisa mulai mengurangi produksi sampah dari awal (Reduce), menjadi konsumen hijau yang sadar dan bertanggung jawab.


Akhirnya, yang tak kalah penting adalah proses menyentuh, menggugah dan mengajak warga untuk mulai berbuat, menjadi modal penting yang harus dilakukan. Tanpa syarat, tanpa ‘topeng projek’, dengan niat baik dan konsisten, disertai contoh nyata dari pribadi-pribadi kita, inilah yang perlu dilakukan. Dan… bersama golongan inilah seharusnya kita berada. 


* * * *

Tidak ada komentar: