Jumat, 13 Desember 2013 menjadi hari yang cukup khusus bagi LPTT Bandung, hari ini bertempat di aula pelatihan LPTT diselenggarakan kegiatan TFT (Training For Trainer) tentang biopori oleh jaringan panitia penyelenggara aksi sejuta biopori di kota Bandung.
Bukan kali pertama di gedung ini diselenggarakan pelatihan dengan tema materi terkait biopori atau biokomposter, namun kali ini menjadi agak berbeda karena LPTT bukan penyelenggara kegiatan, melainkan sekedar memfasilitasi tempat pelatihan, sebagai bentuk apresiasi bagi upaya-upaya (partisipasi) masyarakat dalam membangun solusi atas persoalan lingkungan di kota Bandung, khususnya dalam mengatasi persoalan sampah kota dan banjir cileuncang melalui aksi biopori (biokomposter).
Biopori (biokomposter) merupakan salah satu model solutif yang saat ini sangat populer di masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar, sebagai lubang pengomposan sekaligus untuk meresapkan air hujan setelah tercipta pori-pori bio di dalam tanah sekitar lubang galian utama.
Jika berkaca pada pengalaman pendampingan masyarakat yang dilakukan LPTT Bandung selama beberapa tahun ini khususnya dalam program Bandung Green and Clean (BGC), metode ini merupakan salah satu yang menjadi prioritas dilakukan oleh masyarakat RW peserta program BGC. Bahkan setiap RW dampingan sangat diprioritaskan untuk membuat dan memanfaatkan lubang biokomposter (biopori) ini sebagai upaya mengatasi sampah dan banjir cileuncang.
Namun memang tidak semua lokasi di kota Bandung ini cocok dengan model biokomposter (biopori) ini, karena tidak semua daerah RW di Bandung memiliki tanah permukaan yang bagus meresapkan air, sehingga model ini tidak bisa digeneralisir "sebagai ramuan mujarab segala penyakit".
Kawasan (Cekungan) kota Bandung secara sederhana terbagi kedalam wilayah yang sangat bagus meresapkan air atau daerah peresapan air permukaan, serta kawasan yang tidak begitu bagus meresapkan air atau daerah lepasan/buangan air hujan.
Kawasan yang bagus meresapkan air permukaan tentu saja adalah kawasan utara kota seperti daerah dago, wilayah kecamatan cibeunying kaler, dan sekitarnya. Selain bagus meresapkan air, kawasan ini memang secara umum memiliki kemiringan permukaan yang lebih tajam dibanding kawasan lainnya di kota Bandung, sehingga sangat ideal untuk dikelola air hujannya melalui model biokomposter biopori.
Di kawasan inilah sebenarnya peran lubang-lubang peresapan air permukaan perlu dimaksimalkan, sehingga air larian yang deras saat hujan bisa dikurangi secara berarti.
Sayangnya kawasan yang notabene memiliki kemiringan curam dan air larian yang deras ini saat ini kondisinya sangat memilukan, daerah-daerah peresapan alami air hujan di kawasan ini telah banyak berubah menjadi pemukiman dan areal tertutup aspal ataupun beton.
Tidak heran jika hujan turun selalu saja mengakibatkan banjir larian atau banjir permukaan yang tidak bisa lagi disebut sebagai banjir cileuncang. Dampak susulannya adalah rusaknya infrastruktur fisik jalanan dan drainase secara berulang di beberapa lokasi larian banjir di kawasan ini seperti di sekitar TMP Cikutra. [Klik disini]
Berbeda halnya dengan kawasan utara, kawasan selatan kota pada banyak wilayah (terutama wilayah pemukiman baru dari pengembangan kawasan kota) merupakan wilayah yang tidak begitu bagus meresapkan air permukaan melalui lubang resapan biopori. Pada banyak kawasan di selatan ini jika kita coba gali beberapa centimeter saja kedalam tanah akan segera keluar air. Bahkan pada saat puncak musim hujan yang tinggi lubang-lubang ini malah akan terus mengeluarkan air disebabkan tekanan air di areal sekitar lubang galian.
Dari pengalaman pendampingan di RW-RW selatan kota ini maka umumnya lubang-lubang yang awalnya akan dimaksimalkan sebagai lubang resapan air permukaan (biopori) akhirnya perannya hanya untuk mengubur material organik (lubang komposter sampah organik) saja. Lubang ini diisi material sampah organik hingga penuh agar tidak menjadi lubang keluarnya air. Wilayah-wilayah yang memiliki kondisi permukaan seperti ini diantaranya seperti wilayah pemukiman di hamparan Gedebage, kawasan Turangga, dan beberapa kawasan lainnya yang memiliki karakteristik sama.
Khusus wilayah gedebage dan sekitarnya yang merupakan wilayah langganan banjir, jika mengacu pada sejarah lampau wilayah ini memang merupakan wilayah genangan air secara alami, sehingga kawasan ini dulunya banyak didominasi oleh areal persawahan dan kawasan berair lainnya. Sehingga perlu sebuah upaya ekstra kreatif jika ingin menjadikan wilayah-wilayah ini bebas dari persoalan banjir, bukan sekedar melalui lubang-lubang biokomposter-biopori, melainkan tentu saja dengan skema kebijakan tata ruang kota yang perlu dipermak menyeluruh dari utara hingga selatan.
Kota Bandung terbentang dari kawasan lereng utara yang lebih tinggi hingga ke hamparan genangan di daerah selatan dan timur, juga kawasan barat. Dengan melengkapi perspektif tentang kota ini secara menyeluruh maka peluang terjebak pada kekeliruan yang tidak perlu akibat generalisasi kawasan akan terhindar. Karena dengan kondisi semacam ini tidak realistis memaksakan aksi hanya berbasis perspektif wilayah utara tanpa mempertimbangkan realitas wilayah lainnya dalam 'mangkuk Bandung' ini.
Lubang biopori boleh jadi sebagai solusi yang praktis dan murah yang bisa dijalankan di tingkat masyarakat untuk mengatasi banjir, namun demikian persoalan banjir yang semakin hari semakin massif bukan lagi hanya sebatas persoalan masyarakat, melainkan merupakan persoalan carut-marutnya penataan ruang dan kawasan di kota ini yang terjadi karena persoalan kebijakan kota.
Hari ini banjir Bandung bukan lagi sekedar 'banjir cileuncang'
Bukan kali pertama di gedung ini diselenggarakan pelatihan dengan tema materi terkait biopori atau biokomposter, namun kali ini menjadi agak berbeda karena LPTT bukan penyelenggara kegiatan, melainkan sekedar memfasilitasi tempat pelatihan, sebagai bentuk apresiasi bagi upaya-upaya (partisipasi) masyarakat dalam membangun solusi atas persoalan lingkungan di kota Bandung, khususnya dalam mengatasi persoalan sampah kota dan banjir cileuncang melalui aksi biopori (biokomposter).
Biopori (biokomposter) merupakan salah satu model solutif yang saat ini sangat populer di masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar, sebagai lubang pengomposan sekaligus untuk meresapkan air hujan setelah tercipta pori-pori bio di dalam tanah sekitar lubang galian utama.
Jika berkaca pada pengalaman pendampingan masyarakat yang dilakukan LPTT Bandung selama beberapa tahun ini khususnya dalam program Bandung Green and Clean (BGC), metode ini merupakan salah satu yang menjadi prioritas dilakukan oleh masyarakat RW peserta program BGC. Bahkan setiap RW dampingan sangat diprioritaskan untuk membuat dan memanfaatkan lubang biokomposter (biopori) ini sebagai upaya mengatasi sampah dan banjir cileuncang.
Namun memang tidak semua lokasi di kota Bandung ini cocok dengan model biokomposter (biopori) ini, karena tidak semua daerah RW di Bandung memiliki tanah permukaan yang bagus meresapkan air, sehingga model ini tidak bisa digeneralisir "sebagai ramuan mujarab segala penyakit".
Kawasan (Cekungan) kota Bandung secara sederhana terbagi kedalam wilayah yang sangat bagus meresapkan air atau daerah peresapan air permukaan, serta kawasan yang tidak begitu bagus meresapkan air atau daerah lepasan/buangan air hujan.
Kawasan yang bagus meresapkan air permukaan tentu saja adalah kawasan utara kota seperti daerah dago, wilayah kecamatan cibeunying kaler, dan sekitarnya. Selain bagus meresapkan air, kawasan ini memang secara umum memiliki kemiringan permukaan yang lebih tajam dibanding kawasan lainnya di kota Bandung, sehingga sangat ideal untuk dikelola air hujannya melalui model biokomposter biopori.
[Gambaran Lubang Biokompoter Biopori] |
Sayangnya kawasan yang notabene memiliki kemiringan curam dan air larian yang deras ini saat ini kondisinya sangat memilukan, daerah-daerah peresapan alami air hujan di kawasan ini telah banyak berubah menjadi pemukiman dan areal tertutup aspal ataupun beton.
Tidak heran jika hujan turun selalu saja mengakibatkan banjir larian atau banjir permukaan yang tidak bisa lagi disebut sebagai banjir cileuncang. Dampak susulannya adalah rusaknya infrastruktur fisik jalanan dan drainase secara berulang di beberapa lokasi larian banjir di kawasan ini seperti di sekitar TMP Cikutra. [Klik disini]
Berbeda halnya dengan kawasan utara, kawasan selatan kota pada banyak wilayah (terutama wilayah pemukiman baru dari pengembangan kawasan kota) merupakan wilayah yang tidak begitu bagus meresapkan air permukaan melalui lubang resapan biopori. Pada banyak kawasan di selatan ini jika kita coba gali beberapa centimeter saja kedalam tanah akan segera keluar air. Bahkan pada saat puncak musim hujan yang tinggi lubang-lubang ini malah akan terus mengeluarkan air disebabkan tekanan air di areal sekitar lubang galian.
Dari pengalaman pendampingan di RW-RW selatan kota ini maka umumnya lubang-lubang yang awalnya akan dimaksimalkan sebagai lubang resapan air permukaan (biopori) akhirnya perannya hanya untuk mengubur material organik (lubang komposter sampah organik) saja. Lubang ini diisi material sampah organik hingga penuh agar tidak menjadi lubang keluarnya air. Wilayah-wilayah yang memiliki kondisi permukaan seperti ini diantaranya seperti wilayah pemukiman di hamparan Gedebage, kawasan Turangga, dan beberapa kawasan lainnya yang memiliki karakteristik sama.
Khusus wilayah gedebage dan sekitarnya yang merupakan wilayah langganan banjir, jika mengacu pada sejarah lampau wilayah ini memang merupakan wilayah genangan air secara alami, sehingga kawasan ini dulunya banyak didominasi oleh areal persawahan dan kawasan berair lainnya. Sehingga perlu sebuah upaya ekstra kreatif jika ingin menjadikan wilayah-wilayah ini bebas dari persoalan banjir, bukan sekedar melalui lubang-lubang biokomposter-biopori, melainkan tentu saja dengan skema kebijakan tata ruang kota yang perlu dipermak menyeluruh dari utara hingga selatan.
Kota Bandung terbentang dari kawasan lereng utara yang lebih tinggi hingga ke hamparan genangan di daerah selatan dan timur, juga kawasan barat. Dengan melengkapi perspektif tentang kota ini secara menyeluruh maka peluang terjebak pada kekeliruan yang tidak perlu akibat generalisasi kawasan akan terhindar. Karena dengan kondisi semacam ini tidak realistis memaksakan aksi hanya berbasis perspektif wilayah utara tanpa mempertimbangkan realitas wilayah lainnya dalam 'mangkuk Bandung' ini.
Lubang biopori boleh jadi sebagai solusi yang praktis dan murah yang bisa dijalankan di tingkat masyarakat untuk mengatasi banjir, namun demikian persoalan banjir yang semakin hari semakin massif bukan lagi hanya sebatas persoalan masyarakat, melainkan merupakan persoalan carut-marutnya penataan ruang dan kawasan di kota ini yang terjadi karena persoalan kebijakan kota.
Hari ini banjir Bandung bukan lagi sekedar 'banjir cileuncang'
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar